Tuesday, March 27, 2012

Demo anti BBM hanya salah satu cara Protes


Protest bisa dilakukan dimana saja dengan cara apa saja. Demo jalanan adalah salah satu cara. Kenyataannya banyak orang yang tidak setuju harga BBM naik tetapi mereka tidak ikut/harus turun ke jalan. Jika pemerintah cerdas dan bisa mendengar protest tidak langsung, tentu negara ini lebih baik dikelola. Pemerintah selama ini hanya menganggap demo itu sangat minoritas dan bayaran tetapi esensi perlawanan itu tidak ditangkap. Hal ini menjadikan kebijakan pemerintah semakin terlihat bodoh dan kurang basis sosial dalam analisisnya. Kita tahu, orang Indonesia, ketika tidak setuju terhadap atasan tidak selalu dilawan dengan protest di jalanan atau konforntasi.
Status FB adalah suatu penggambaran ekspresi di dunia maya yang fulgar, bebas, dan merdeka. Hal ini justru dapat dijadikan bahan kajian karena suara-suara yang muncul tanpa pamirih dan tanpa mencari popularitas akan emnjadi bermakna karena ini adalah ungkapan sehari-hari atau yang dikenal sebagai everyday politics of ordinary people. Selamat menyimak status-status ini. Jika ada yang bernada provokasi mohon maaf, jika ada yang menghina agama, ethnic, dan mengandung SARA mohon diperingatkan. Salam kreatif dan salam perjuangan.

Rindu Orde Baru

Ariel Heryanto*)



Sebuah media online secara sensasional memberitakan, "Survei membuktikan, Orba Lebih Baik!" Maksudnya, survei "Evaluasi 13 Tahun Reformasi dan 18 Bulan Pemerintahan SBY-Boediono" oleh Indo Barometer. Padahal survei itu sama sekali tidak membuktikan baik-buruknya sebuah pemerintahan.

Menurut survei itu, mayoritas (40,9%) responden menilai Orde Baru sebagai pemerintahan terbaik. Survei yang sama menyimpulkan: "Dari enam presiden yang telah memimpin Indonesia, Soeharto... paling berhasil (40,5%), disusul SBY (21,9%), dan Sukarno (8,9%)". Kesimpulan semacam ini sudah cukup provokatif. Apalagi sesudah ditambah jurnalisme sensasional. Kini sebuah survei bisa dilakukan untuk mengukur tingkat kepuasan publik terhadap survei Indo Barometer.

Oposisi dalam Politik Indonesia

Ignas Kleden


SALAH satu agenda reformasi politik Indonesia saat ini adalah meninjau kembali masalah oposisi dalam politik. Ada dua pertanyaan yang dapat diajukan. Pertama, kalau politik dijalankan dengan cara Orde Baru tanpa oposisi yang dilembagakan, dapatkah dijamin bahwa kesalahan-kesalahan Orde Baru berupa KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), tidak terulang lagi? Kedua, apakah kekuasaan di Indonesia demikian khusus sifatnya sehingga tidak diperlukan suatu oposisi yang secara resmi dan terus-menerus melakukan pengawasan terhadap penggunaan kekuasaan?
Pertanyaan kedua di atas berhubungan dengan soal apakah kekuasaan itu mempunyai kecenderungan yang sama di mana-mana atau apakah ada kekhasan budaya yang menyebabkan kekuasaan berbeda wataknya dari suatu negara ke negara lainnya. Pertanyaan ini dapat dijawab secara umum bahwa penguasa dengan kekuasaan besar di tangannya perlu diawasi karena kecenderungan penguasa untuk memperluas kekuasaannya serta menyelewengkan penggunaan kekuasaan adalah berkali-kali lebih besar dari kemampuannya untuk mengawasi dirinya. Perbedaan budaya hanya terlihat dalam caranya suatu penyelewengan dilakukan, sedangkan kecenderungan kepada penyelewengan adalah sama di mana-mana. Ini psikologi kekuasaan yang sudah konstan dalam sejarah sehingga tidak perlu dibuktikan lagi.

Referensi untuk Kajian Everyday Politics


David Efendi

Satu hal yang perlu kita miliki sebelum mengkaji sebuah fenomena atau kejadian adalah referensi yang memadai sehingga kita tidak perlu mengklaim sebagai pelaku kajian paling depan atau menjadi pahlawan kesiangan dalam pengembangan ilmu tertentu. Dalam khasanah ilmu politik di Indonesia, informal politik atau micro politik atau yang kita sebut everyday politics adalah kajian pinggiran yang jauh dari mainstream sehingga kurang mendapatkan gaungnya. Eksistensi budaya menjaga harmoni sebenarnya adalah landasan paling penting keberadaan everyday politics yang oleh Kerkvliet diidentifikasi sebagai ekspresi politik yang tidak langsung, tertutup, dan tidak terorganisir. Hal-hal demikian nyata adanya dalam masyarakat Indonesia.

Bacaan berikut adalah referensi dasar untuk memulai kajian everyday politics yang sampai hari ini masih kurang terdengar di Indonesia namun bibik-bibit kea rah sana memang cukup luar biasa sudah terlihat. Bacaan ini saya dapatkan dari pembimbing saya yang menulis buku The Power of Everyday politics yaitu Profesor Ben Kerkvliet. Saya sangat berhutang budi kepadanya. Selamat membaca.

FEODALISME


Nanang Indra Kurniawan
Dahulu kala di jaman raja-raja, feodalisme menemukan semaiannya paling subur. Tanah-tanah dikuasai para bangsawan dan tuan tanah, hierarki menancap dalam segala sendi kehidupan masyarakat, mitos dan tahayul dikembangluaskan.
Dalam feodalisme tanah ibarat sumber kehidupan bagi para raja dan bangsawan. Seluruh tanah dianggap milik raja dan keluarganya. Rakyat hanya meminjam sehingga harus membayar pajak atau upeti. Dan sewaktu-waktu raja boleh mengambil kembali tanahnya kalau ia menginginkan. Akibatnya, patronase menjadi kelaziman yang tak bisa dihindari. Kalau masyarakat ingin hidup maka ia harus mengabdi pada penguasa tanah: raja, bangsawan dan tuan tanah. Petani dan masyarakat mesti tunduk dan hormat kepada mereka.