SALAH satu agenda reformasi politik Indonesia saat ini adalah meninjau kembali masalah oposisi dalam politik. Ada dua pertanyaan yang dapat diajukan. Pertama, kalau politik dijalankan dengan cara Orde Baru tanpa oposisi yang dilembagakan, dapatkah dijamin bahwa kesalahan-kesalahan Orde Baru berupa KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), tidak terulang lagi? Kedua, apakah kekuasaan di Indonesia demikian khusus sifatnya sehingga tidak diperlukan suatu oposisi yang secara resmi dan terus-menerus melakukan pengawasan terhadap penggunaan kekuasaan?
Pertanyaan kedua di atas berhubungan dengan soal apakah kekuasaan itu
mempunyai kecenderungan yang sama di mana-mana atau apakah ada kekhasan budaya
yang menyebabkan kekuasaan berbeda wataknya dari suatu negara ke negara
lainnya. Pertanyaan ini dapat dijawab secara umum bahwa penguasa dengan
kekuasaan besar di tangannya perlu diawasi karena kecenderungan penguasa untuk
memperluas kekuasaannya serta menyelewengkan penggunaan kekuasaan adalah
berkali-kali lebih besar dari kemampuannya untuk mengawasi dirinya. Perbedaan
budaya hanya terlihat dalam caranya suatu penyelewengan dilakukan, sedangkan
kecenderungan kepada penyelewengan adalah sama di mana-mana. Ini psikologi
kekuasaan yang sudah konstan dalam sejarah sehingga tidak perlu dibuktikan
lagi.
Pertanyaan pertama berhubungan dengan cara bagaimana penguasa memandang
kekuasaannya. Kekeliruan Orde Baru misalnya adalah menganggap bahwa pembatasan
politik dapat dijalankan oleh penguasa sampai saatnya penguasa sendiri merasa
pembatasan itu dapat dilonggarkan lagi berdasarkan pertimbangan penguasa
sendiri. Pemegang kekuasaan dianggap demikian bijaksana sehingga atas inisiatif
dan kehendak sendiri dia akan memberikan kembali kebebasan dan keterbukaan
politik bilamana hal itu dianggapnya tepat dan perlu. Bagaimana mantan Presiden
Soeharto melansir isu keterbukaan dan kemudian dengan sigap dan dalam waktu
singkat memangkasnya kembali, masih segar dalam ingatan kita semua.
Setiap penguasa jelas akan berbicara tentang kepentingan rakyat,
kepentingan bangsa dan negara sebagai suatu keharusan retorika dan kampanye
politik, tetapi para warga sebaiknya awas bahwa kepentingan pertama penguasa
adalah mempertahankan, memperbesar dan memperkuat kekuasaan yang sudah
dipunyainya. Orang tidak perlu membaca Machiavelli untuk memahami hal ini,
karena pengalaman langsung akan selalu membuktikannya. Karena itu sejauh mana
kekuasaan itu dipergunakan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat jelas tidak
dapat dipercayakan begitu saja kepada penguasa tetapi kepada pihak-pihak yang
bertugas dan berwajib mengawasi kekuasaan. Ini realisme politik elementer, yang
kalau diabaikan, akan membawa kita langsung kembali ke situasi politik ala Orde
Baru.
***
NAMUN demikian, oposisi rupanya dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi
kekuasaan. Oposisi diperlukan juga karena apa yang baik dan benar dalam politik
haruslah diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik
yang terbuka dan publik. Adalah naif sekali sekarang ini untuk masih percaya
bahwa pemerintah bersama semua pembantu dan penasihatnya dapat merumuskan
sendiri apa yang perlu dan tepat untuk segera dilakukan dalam politik, ekonomi,
hukum, pendidikan dan kebudayaan pada saat ini.
Di sanalah oposisi dibutuhkan sebagai semacam advocatus diaboli
atau devil's advocate yang memainkan peranan setan yang menyelamatkan
kita justru dengan mengganggu kita terus-menerus. Dalam peran tersebut oposisi
berkewajiban mengemukakan titik-titik lemah dari suatu kebijaksanaan, sehingga
apabila kebijaksanaan itu diterapkan, segala hal yang dapat merupakan efek
sampingan yang merugikan sudah lebih dahulu ditekan sampai minimal.
Tragedi-komedi dalam politik Orde Baru adalah bahwa oposisi hanya dipandang
sebagai devil (setan) dan tidak pernah diakui sebagai advocate
(pembela).
Manfaat lainnya adalah bahwa dengan kehadiran oposisi masalah accountability
atau pertanggungjawaban akan lebih diperhatikan pemerintah. Tidak segala
sesuatu akan diterima begitu saja, seakan-akan dengan sendirinya jelas, atau
beres dalam pelaksanaannya. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu
menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijaksanaan diambil, apa
dasarnya, apa pula tujuan dan urgensinya, dan dengan cara bagaimana
kebijaksanaan itu akan diterapkan.
Socrates, filsuf Yunani kuno yang konon suka mengajar filsafat dari
pasar ke pasar pernah mengemukakan tiga kriteria untuk menguji perlu-tidaknya
sebuah tindakan. Pertanyaan pertama: apakah sebuah tindakan adalah benar dan
dapat dibenarkan? Kalau tindakan itu terbukti benar, maka menyusul pertanyaan
kedua: apakah tindakan yang benar tersebut perlu dilakukan atau tidak perlu
dilakukan? Kalau tindakan itu ternyata benar dan perlu, maka pertanyaan ketiga
adalah: apakah hal tersebut baik atau tidak untuk dilaksanakan?
Korupsi misalnya mutlak tak dapat dibenarkan, dan jelas tidak baik,
sekalipun mungkin perlu (misalnya karena harus menolong sanak keluarga yang
sedang menderita sakit payah dan memerlukan ongkos besar untuk perawatan di
rumah sakit). Seterusnya mengangkat saudara sendiri untuk jabatan-jabatan dalam
birokrasi mungkin dapat dibenarkan (kalau sanak saudara itu terbukti kompeten
untuk kedudukan bersangkutan) tetapi tidak perlu (karena akan mengurangi
integritas dari orang yang mengangkat sanak-saudaranya sendiri). Demikian pun
bekerja sama dalam birokrasi dan jabatan politik dengan seorang pengusaha untuk
menambah dana birokrasi, mungkin dapat dibenarkan dan dibuktikan keperluannya,
tetapi jelas tidak baik, karena akan menimbulkan konflik kepentingan pada
pejabat bersangkutan dan mengurangi independensinya dalam berhadapan dengan
orang luar.
Oposisi tidak saja bertugas memperingatkan pemerintah terhadap
kemungkinan salah-kebijaksanaan atau salah-tindakan (sin of commission),
tetapi juga menunjukkan apa yang harus dilakukannya tetapi justru tidak
dilakukannya (sin of omission). Adalah kewajiban oposisi untuk melakukan
kualifikasi apakah sesuatu harus dilakukan, atau tidak harus
dilakukan, atau malahan harus tidak dilakukan sama sekali.
***
PERLU-tidaknya oposisi sangat tergantung kepada pandangan dan persepsi
tentang kekuasaan. Kalau kekuasaan dianggap berasal dari sumber supernatural,
berupa pulung, wangsit dan semacamnya maka oposisi tidak dibutuhkan, karena
penguasa hanya merasa bertanggung jawab terhadap pihak yang telah memberinya pulung
dan wangsit tersebut. Demikian pun masalah legitimasi kekuasaan menjadi tidak
relevan, karena hubungan kekuasaan dan wangsitnya berlangsung dalam suatu
lingkaran logika-tertutup.
Dalam suatu logika-tertutup seperti itu tidak pernah bisa diketahui apa
membuktikan apa. Kalau kita bertanya: apa buktinya bahwa seseorang mendapat
wangsit, maka jawabannya: karena orang itu terbukti berkuasa (tanpa wangsit dia
tidak mungkin berkuasa). Sebaliknya kalau ditanyakan: mengapa si Anu kok
bisa menjadi presiden, maka jawabannya: karena dia memang mendapat wangsit.
Dengan demikian, adanya kekuasaan dibuktikan oleh adanya wangsit, dan adanya
wangsit dibuktikan oleh adanya kekuasaan.
Dengan demikian, langkah pertama untuk memperlakukan kekuasaan secara
demokratis, adalah mengadakan desakralisasi kekuasaan. Kekuasaan tidak berasal
dari sumber-sumber yang gaib, mistik dan magis, tetapi berasal dari rakyat.
Adalah rakyat yang memberikan kekuasaan dan rakyat jugalah yang memungkinkan
sebuah kekuasaan dijalankan melalui ketundukannya kepada kekuasaan tersebut.
Kalau kekuasaan berasal dari rakyat, dan kalau rakyat kemudian tunduk
kepada penguasa yang telah menerima kekuasaan dari mereka, maka adalah
kewajiban penguasa untuk membuktikan bahwa dia layak mendapat kepercayaan rakyatnya,
dan bahwa ketundukan rakyat kepada kekuasaannya mempunyai alasan-alasan yang
dapat dibenarkan. Legitimasi adalah kelayakan sebuah orde politik untuk
mendapatkan pengakuan dari rakyatnya, suatu Anerkennungswuerdigkeit einer
politischen Ordnung, begitu kata seorang ahli filsafat politik, Juergen
Habermas.
Kedua, kekuasaan mempunyai tendensi bukan saja untuk memperbesar dan
memperkuat dirinya tetapi juga memusatkan dirinya. Karena itulah pemikiran
demokratis tentang kekuasaan selalu menekankan pembagian kekuasaan dan
keseimbangan kekuasaan. Pengalaman dalam Orde Baru menunjukkan bahwa pemusatan
kekuasaan ini telah berjalan dengan amat ekstrem, baik dalam bidang politik
dengan demikian besarnya kekuasaan Presiden Soeharto pada waktu itu, maupun
dalam bidang ekonomi dalam bentuk berbagai praktek monopoli dan oligopoli.
Pemusatan kekuasaan politik ini amat ditunjang oleh gambaran bahwa
penguasa adalah seorang bapak keluarga yang baik hati yang akan berbuat segala
sesuatu untuk kepentingan anak-anaknya. Anak-anak selayaknya mempercayakan
segala urusan kepada bapak mereka, dan etos politik yang berlaku adalah
"terserah Bapak". Analogi ini jelas keliru dengan akibat yang amat
pahit. Penguasa adalah penguasa dan bapak keluarga adalah bapak keluarga. Keluarga
adalah lingkungan personal yang termasuk dalam private sphere, tetapi
kekuasaan pemerintah semata-mata bersifat fungsional dan termasuk dalam public
sphere.
Dengan demikian langkah kedua untuk memperlakukan kekuasaan secara
demokratis adalah depaternalisasi kekuasaan. Penguasa jangan lagi dipandang
secara paternalistis seakan-akan mempunyai watak kebapakan, tetapi harus
dipandang secara lugas sebagai seorang yang mempunyai potensi menyalahgunakan
kekuasaan yang kalau tidak diawasi dapat berkembang sampai tingkat
sewenang-wenang.
***
PERSOALAN tentang bagaimana oposisi dapat dijalankan dengan efektif
tanpa terlalu banyak menimbulkan keguncangan politik, haruslah dibahas sebagai
suatu uraian tersendiri, dengan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan riil yang
ada dalam politik Indonesia saat ini. Yang perlu ditekankan dalam tulisan ini
ialah bahwa oposisi dibutuhkan pertama-tama sebagai kritik kepada kekuasaan dan
pengawasan terhadap kekuasaan agar tidak semena-mena.
Sudah jelas bahwa adanya partai oposisi merupakan sebuah jalan formal
untuk menjalankan peran tersebut. Namun demikian, oposisi dan kritik kepada
kekuasaan tidaklah perlu diidentikkan seluruhnya dengan kegiatan sebuah atau
beberapa buah partai. Oposisi dan kritik kepada kekuasaan pertama-tama adalah
sebuah fungsi dan aktivitas politik yang dapat dijalankan di dalam maupun di
luar partai politik.
Kalau pers bisa memainkan peranannya dengan lebih leluasa tanpa
pengekangan oleh kekuasaan, maka pers dan media elektronik dapat menyumbang
banyak kepada kontrol terhadap kekuasaan. Demikian pun kelompok-kelompok kritis
seperti kalangan LSM, atau organisasi-organisasi profesional, dan terutama
sekali para mahasiswa dan kalangan kampus umumnya, dapat menyumbang kepada
kontrol sosial dan kritik terhadap penggunaan kekuasaan, berdasarkan keahlian
dan pengalaman mereka dalam bidang yang digelutinya. Penolakan para aktivis
Walhi terhadap Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam kabinet yang sekarang
adalah contohnya.
Demikian pun kontrol terhadap kekuasaan dapat dijalankan melalui
pembentukan pendapat umum, sehingga pendapat ini bisa menekan suatu pendirian
atau pendapat pemerintah yang tidak disetujui. Contoh yang sempurna tentang ini
adalah isu KKN sendiri yang dibentuk di jalanan oleh para mahasiswa dan
kemudian disambut dengan antusias oleh seluruh masyarakat politik di Indonesia,
dan kemudian berkembang menjadi pendapat umum yang sanggup memaksa berakhirnya
rezim Orde Baru, suatu orde politik yang dalam pendapat umum yang sebelumnya
(sebelum lahirnya KKN) selalu dibayangkan sebagai tak tergoyahkan.
Namun demikian, membela oposisi tidak dengan sendirinya berarti
mengandaikan bahwa oposisi yang dijalankan dengan sendirinya akan selalu tinggi
mutunya. Politik di Jerman dari pertengahan tahun 1980-an sampai 1990-an
dianggap merosot mutunya, karena tidak adanya oposisi yang bermutu dari Partai
Sosial Demokrat (SPD) di sana. Dengan demikian, kekurangan-kekurangan dalam
politik Helmut Kohl buat sebahagian besar dipersalahkan bukan saja kepada rezim
Helmut Kohl tetapi juga kepada oposisi politik yang lemah dan tidak efektif.
Ini
berarti kritik politik berlaku juga terhadap oposisi dan dia sendiri harus
dikritik terus-menerus untuk menjalankan peranannya bukan demi kepuasan perlawanan
semata-mata, tetapi demi suatu politik di mana kekuasaan digunakan dengan cara
yang terawasi. Dalam hal ini berlaku prinsip: musuh yang pintar akan lebih
menolong daripada teman yang bodoh, dan lawan yang jujur lebih bermanfaat
daripada kawan yang culas.
Sumber:
http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Kompas_perbandingan/opos4.htm
No comments:
Post a Comment