Nanang Indra Kurniawan
Dahulu kala di jaman raja-raja, feodalisme menemukan semaiannya paling
subur. Tanah-tanah dikuasai para bangsawan dan tuan tanah, hierarki menancap
dalam segala sendi kehidupan masyarakat, mitos dan tahayul dikembangluaskan.
Dalam feodalisme tanah ibarat sumber kehidupan bagi para raja dan
bangsawan. Seluruh tanah dianggap milik raja dan keluarganya. Rakyat hanya
meminjam sehingga harus membayar pajak atau upeti. Dan sewaktu-waktu raja boleh
mengambil kembali tanahnya kalau ia menginginkan. Akibatnya, patronase menjadi
kelaziman yang tak bisa dihindari. Kalau masyarakat ingin hidup maka ia harus
mengabdi pada penguasa tanah: raja, bangsawan dan tuan tanah. Petani dan
masyarakat mesti tunduk dan hormat kepada mereka.
Untuk menegaskan keberadaannya, raja dan bangsawan seringkali berkilah
bahwa ia adalah manusia suci dan keturunan para dewa yang harus ditaati segala
perintahnya. Mereka juga sering mengisahkan dirinya sebagai kesatria yang sakti
mandraguna. Tentu untuk menakut-nakuti rakyatnya agar tidak berontak.
Lebih dari dua ratus tahun lalu feodalisme runtuh di Eropa. Kekuasaan
para bangsawan luruh di hadapan gelombang pencerahan yang mengagungkan
rasionalisme. Jaman baru telah dimulai. Jaman dimana segala hubungan manusia
mesti memiliki pembenaran akali.
Kekuasaan yang berdalih atas nama kebajikan dan keagungan Tuhan tidak
lagi menemukan relevansinya. Pengalaman sejarah masyarakat Eropa menegaskan
sebuah gagasan bahwa nama besar Tuhan telah diperalat oleh kelas berkuasa untuk
memperkosa sesamanya. Rasionalisme memberikan pengalaman baru bagi masyarakat
untuk mengedepankan akal budinya dan membuang segala mistisisme yang mengekang.
Di sinilah kesadaran baru berbiak: kekuasaan harus dikontrol dan bisa
dipertanggungjawabkan secara rasional!
Sejarah defeodalisme telah menjadi tonggak penting perkembangan Dunia
Barat. Ia menjadi ispirasi berharga untuk menuju ke peradaban baru. Tatkala
feodalisme dirobohkan, filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang pesat. Dunia
Barat menjadi sentrum baru dinamika dunia.
Namun kisah tersebut tak menjalar ke semua belahan dunia. Di berbagai
tempat feodalisme justru dilanggengkan untuk menancapkan kekuasaan politik dan
ekonomi. Mari kita runut ke belakang.
Tahun 1859 Max Havelaar telah bertutur tentang penindasan Kolonial
Belanda yang memaangfnfaatkan kekuasaan feofal pribumi. Dia mengungkapkan
sebuah cerita telanjang tentang bangsawan lokal yang duduk pongah memeras
masyarakatnya sendiri. Di bawah ketiak kekuasan kolonial mereka diperalat untuk
memobilisasi sumberdaya yang ada dalam masyarakat. Para bangsawan tersebut
adalah pejabat bayaran dan boneka Belanda.
Menurut Havelaar keberadaan para bangsawan sebagai bagian dari rantai
kekuasaan kolonial bisa dipahami dalam argumentasi bahwa mereka memiliki
pengaruh besar dalam sejarah kekuasaan di Jawa. Dengan demikian secara politis
pengaruh feodal mereka yang lama masih bisa dipergunakan. Dengan mengangkat
para bangsawan pribumi itu menjadi pejabat maka terciptalah semacam hierarki
dimana pada puncak kekuasaannya dijalankan oleh Gubernur Jenderal Belanda.
Kini di dunia modern, institusi feodal memang telah mengalami
degradasi hebat. Persoalannya, semangat feodalisme justru bermetamorfosis ke
dalam lembaga-lembaga baru. Cara berpikir dan sikap-sikap lama merasuki
hubungan-hubungan sosial, ekonomi maupun politik. Hierarki sosial, tahayul
(bukan harga diri) tetap menjadi semangat bekerjanya mekanisme lembaga-lembaga
modern ini.
Sejatinya demokrasi telah mengajarkan pentingnya inklusivisme dan
suasana egaliter sebagai prasyarat penting dalam tatanan masyarakat modern. Egalitarianisme
akan membuka peluang bagi semua orang untuk mengembangkan kreativitasnya. Tiap
orang memiliki kebebasannya untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat
tanpa harus dibebani dengan tetek bengek tahayul.
Di sebuah koran lokal di Jogjakarta beberapa tahun yang lalu, Pujo
Semedi pernah menulis tentang gurunya yang sinis pada kaum priyayi feodal.
Menurut gurunya, kaum priyayi hanyalah orang-orang sisa dari masa lalu yang
jamannya sudah bangkrut. Mereka selalu mementingkan gengsi. Katanya orang-orang
yang seperti itu bisanya cuma kendhangan dhengkul.
Celakanya, negeri ini masih banyak diurusi oleh orang-orang yang punya
hobi kendhangan dhengkul. Main perintah sana-sini, tak mau melihat dunia
yang berubah dan merasa paling benar. Celaka!
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Majalah Flamma No. 15. Edisi Khusus Keistimewaan
Yogyakarta,Vol. 8/Januari 2003
No comments:
Post a Comment