Tuesday, March 27, 2012

FEODALISME


Nanang Indra Kurniawan
Dahulu kala di jaman raja-raja, feodalisme menemukan semaiannya paling subur. Tanah-tanah dikuasai para bangsawan dan tuan tanah, hierarki menancap dalam segala sendi kehidupan masyarakat, mitos dan tahayul dikembangluaskan.
Dalam feodalisme tanah ibarat sumber kehidupan bagi para raja dan bangsawan. Seluruh tanah dianggap milik raja dan keluarganya. Rakyat hanya meminjam sehingga harus membayar pajak atau upeti. Dan sewaktu-waktu raja boleh mengambil kembali tanahnya kalau ia menginginkan. Akibatnya, patronase menjadi kelaziman yang tak bisa dihindari. Kalau masyarakat ingin hidup maka ia harus mengabdi pada penguasa tanah: raja, bangsawan dan tuan tanah. Petani dan masyarakat mesti tunduk dan hormat kepada mereka.

Untuk menegaskan keberadaannya, raja dan bangsawan seringkali berkilah bahwa ia adalah manusia suci dan keturunan para dewa yang harus ditaati segala perintahnya. Mereka juga sering mengisahkan dirinya sebagai kesatria yang sakti mandraguna. Tentu untuk menakut-nakuti rakyatnya agar tidak berontak.
Lebih dari dua ratus tahun lalu feodalisme runtuh di Eropa. Kekuasaan para bangsawan luruh di hadapan gelombang pencerahan yang mengagungkan rasionalisme. Jaman baru telah dimulai. Jaman dimana segala hubungan manusia mesti memiliki pembenaran akali.
Kekuasaan yang berdalih atas nama kebajikan dan keagungan Tuhan tidak lagi menemukan relevansinya. Pengalaman sejarah masyarakat Eropa menegaskan sebuah gagasan bahwa nama besar Tuhan telah diperalat oleh kelas berkuasa untuk memperkosa sesamanya. Rasionalisme memberikan pengalaman baru bagi masyarakat untuk mengedepankan akal budinya dan membuang segala mistisisme yang mengekang. Di sinilah kesadaran baru berbiak: kekuasaan harus dikontrol dan bisa dipertanggungjawabkan secara rasional!
Sejarah defeodalisme telah menjadi tonggak penting perkembangan Dunia Barat. Ia menjadi ispirasi berharga untuk menuju ke peradaban baru. Tatkala feodalisme dirobohkan, filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang pesat. Dunia Barat menjadi sentrum baru dinamika dunia.
Namun kisah tersebut tak menjalar ke semua belahan dunia. Di berbagai tempat feodalisme justru dilanggengkan untuk menancapkan kekuasaan politik dan ekonomi. Mari kita runut ke belakang.
Tahun 1859 Max Havelaar telah bertutur tentang penindasan Kolonial Belanda yang memaangfnfaatkan kekuasaan feofal pribumi. Dia mengungkapkan sebuah cerita telanjang tentang bangsawan lokal yang duduk pongah memeras masyarakatnya sendiri. Di bawah ketiak kekuasan kolonial mereka diperalat untuk memobilisasi sumberdaya yang ada dalam masyarakat. Para bangsawan tersebut adalah pejabat bayaran dan boneka Belanda.
Menurut Havelaar keberadaan para bangsawan sebagai bagian dari rantai kekuasaan kolonial bisa dipahami dalam argumentasi bahwa mereka memiliki pengaruh besar dalam sejarah kekuasaan di Jawa. Dengan demikian secara politis pengaruh feodal mereka yang lama masih bisa dipergunakan. Dengan mengangkat para bangsawan pribumi itu menjadi pejabat maka terciptalah semacam hierarki dimana pada puncak kekuasaannya dijalankan oleh Gubernur Jenderal Belanda.
Kini di dunia modern, institusi feodal memang telah mengalami degradasi hebat. Persoalannya, semangat feodalisme justru bermetamorfosis ke dalam lembaga-lembaga baru. Cara berpikir dan sikap-sikap lama merasuki hubungan-hubungan sosial, ekonomi maupun politik. Hierarki sosial, tahayul (bukan harga diri) tetap menjadi semangat bekerjanya mekanisme lembaga-lembaga modern ini.
Sejatinya demokrasi telah mengajarkan pentingnya inklusivisme dan suasana egaliter sebagai prasyarat penting dalam tatanan masyarakat modern. Egalitarianisme akan membuka peluang bagi semua orang untuk mengembangkan kreativitasnya. Tiap orang memiliki kebebasannya untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat tanpa harus dibebani dengan tetek bengek tahayul.
Di sebuah koran lokal di Jogjakarta beberapa tahun yang lalu, Pujo Semedi pernah menulis tentang gurunya yang sinis pada kaum priyayi feodal. Menurut gurunya, kaum priyayi hanyalah orang-orang sisa dari masa lalu yang jamannya sudah bangkrut. Mereka selalu mementingkan gengsi. Katanya orang-orang yang seperti itu bisanya cuma kendhangan dhengkul.
Celakanya, negeri ini masih banyak diurusi oleh orang-orang yang punya hobi kendhangan dhengkul. Main perintah sana-sini, tak mau melihat dunia yang berubah dan merasa paling benar. Celaka!
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Majalah Flamma No. 15. Edisi Khusus Keistimewaan Yogyakarta,Vol. 8/Januari 2003

No comments:

Post a Comment