David Efendi
Ketika saya mencintai puisi-puisi perlawanan saya akhirnya diketemukan
dengan sosok Widji Thukul yang tidak pernah aku temui secara langsung. Walau
demikian sajak-sajaknya membuat semua otak dan jiwaku bergerak mengamini
realitas yang digambarkan oleh Tukul. Dia dikenal sebagai aktifis buruh yang
menantang kebengisan penguasa melalui puisi dan gerakan turun ke jalan. Secara
individu dia melawan dengan pena dan puisi secara kolektif dia mempunyai tenaga
untuk bergerak. Di ujung kehancuran orde Suharto di tahun 1998, dia banyak
menumpahkan peluru panas lewat puisi lalu dia hilang sebagai martir---revolusi
memakan anak kandungnya sendiri.
Ada dua puisi yang saya analisis untuk memberikan gambaran bagaimana
pemberontakan sastra itu menjadi terbuka (manifes) dan juga bisa menjadi
tertutup (Laten). Kemungkinan terbuka dan tertutup itu ternyata sudah ditangkap
oleh Tukul untuk mengatakan bahwa bibit revolusi dan pemberontakan selalu ada
dalam masyarakat yang timpang: miskin dan tertindas. Ketika kekuasaan sangat
represif dan kualitas penderitaan tidak tertahankan lagi mereka akan melawan
jika ada solidaritas antar buruh dan orang miskin. Jika keadaan masih bisa
ditahan, kekuatan terjaga dan diam.