Monday, March 12, 2012

Sandal Jepit, Kaos Oblong, "Sepeda Ontel"



David Efendi

"Sandal jepit, kaos oblong, dan sepeda ontel adalah simbul dari revolusi besar yang kita tidak akan pernah pahami sebelum kita betul-betul mengerti bahwa kekuasaan itu milik semua orang"
--David Efendi

Suasana hujan dan dingin ini harusnya menjadikan kita semakin sensitif akan persoalan sekeliling kita. Banyak hal yang menjadikan kita mesti banyak membaca keadaan dan menceritakan ke khalayak. Banyak sekali orang yang tahu keadaan buruk tetapi enggan bertutur, ada yang mengalami penindasan tetapi tidak berupaya untuk mengubahnya. Jika ada teori gerakan sosial tentu itu hanya milik kaum elit, setidaknya itu klaim yang pernah ada. Suatu gerakan yang efektif itu nampaknya harus diperjuangkan oleh orang yang bukan hanya pihak kurban tetapi orang diluar dirinya. Buruh tidak harus berjuang sendirian begitu juga mahasiswa. Ini salah satu tanda geliat baru gerakan sosial. Tetapi kita akan bicara betapa tidak langsungnya semangat perlawanan itu jika dikontekskan dengan upaya merubah secara radikal.

Learning how to write (Part 1: on everyday politics)


Amalinda Savirani

I always want to write something in my facebook blog, believe me I do. Anything will do. But I am just to lazy. A friend of mine gave me a tips that I should discipline myself everyday just for one hour to write anything. Evi Mariani, my best friend, has encouraged me (over and over again) to write an article in a media where she works. During my desperate time working on my dissertation, I read notes written by many friend. I admire and envy them of being so productive. When I heard colleagues in my department in UGM published articles in both national and local newspaper, my heart is burn into jealousy of not capable doing what the same. So far, I am already happy to write something funny in my facebook status, and get comments from friends. 

I have ideas and I think those are cool ideas that can be shared with friends.

Dari birokrasi ke angkringan: catatan kecil pergeseran tema skripsi mahasiswa JPP tahun 2000an


Amalinda Savirani

Seminggu  belakangan ini saya mendapat tugas kolega di jurusan menulis kata pengantar skripsi s-1 mahasiswa yang akan diterbitkan oleh jurusan. Skripsi ini milik Rias Fitriyana Indriyati. Ia menulis tentang graffiti di Yogyakarta dan kaitannya dengan apa yang dia sebut sebagai ‘politik sehari-hari’.

Karena bingung gak dapat ide menulis, saya iseng membacai buku tebal kusam milik pak Sarjono, TU Jurusan yang isinya adalah data-data judul skripsi mahasiswa dari zaman jadul. Yang terjadul adalah angkatan 1993, kakak kelas saya. Ternyata telah berlangsung pergeseran tema skripsi dari tahun ke tahun, dari era 90an ke era 2000an. Jadi saya batasi assessment saya pada angkatan 1993, yang mulai lulus sekitar tahun 1998-1999.

Ego Diri, Kesenangan dan Sikap ‘Acuh’ Pemerintah


Ana Sabhana Azmy


Jakarta pagi hari, layaknya kota-kota besar di berbagai penjuru dunia nan padat dengan arus mobilitas warganya. Beraktifitas di bilangan kota, membuatku kembali merasakan ritme moda transportasi yang cukup melelahkan, namun asyik untuk diperhatikan. Kenapa kembali? Ya, sebelumnya aktifitas pergi ke dan pulang dari arah kota telah menjadi bagian dari hidupku selama kurang lebih dua tahun belakangan, ketika memutuskan untuk meneruskan studi di bilangan Salemba. Beberapa bulan kosong dari aktifitas tersebut dan fokus dalam hal lain, membuatku perlu merasakan transisi atmosfer yang berbeda dalam menggunakan dan merasakan moda transportasi publik di ibukota ini. Banyak hal menarik untuk diceritakan selama dalam perjalanan. Perjalanan selalu menghadirkan ide segar, refleksi diri dan hikmah yang perlu diambil oleh tiap individu.