Sebuah media online secara sensasional memberitakan, "Survei membuktikan, Orba Lebih Baik!" Maksudnya, survei "Evaluasi 13 Tahun Reformasi dan 18 Bulan Pemerintahan SBY-Boediono" oleh Indo Barometer. Padahal survei itu sama sekali tidak membuktikan baik-buruknya sebuah pemerintahan.
Menurut
survei itu, mayoritas (40,9%) responden menilai Orde Baru sebagai pemerintahan
terbaik. Survei yang sama menyimpulkan: "Dari enam presiden yang telah
memimpin Indonesia, Soeharto... paling berhasil (40,5%), disusul SBY (21,9%),
dan Sukarno (8,9%)". Kesimpulan semacam ini sudah cukup provokatif.
Apalagi sesudah ditambah jurnalisme sensasional. Kini sebuah survei bisa dilakukan
untuk mengukur tingkat kepuasan publik terhadap survei Indo Barometer.
Seperti
banyak pihak lain, saya punya beberapa keberatan metode dan asumsi survei ini.
Namun, untuk sejenak, tanpa mempedulikan pernik-pernik teknis metodologi
survei, kita bisa menimbang makna kesimpulan yang dihasilkan survei itu.
Pertama,
pandangan umum dalam masyarakat biasanya tidak sama, bahkan berbalikan, dengan
apa yang diterima ilmuwan sebagai kebenaran fakta sejarah. Sebagian besar orang
beranggapan matahari terbit di timur, padahal matahari tidak pernah terbit di
mana pun. Banyak orang Indonesia percaya bangsanya dijajah Belanda selama 350
tahun, padahal penjajahan Belanda tidak menyentuh sebagian besar kepulauan
Nusantara hingga abad ke-20.
Masalah
utama survei Indo Barometer ialah: mengevaluasi hasil Reformasi tidak bisa
disamakan atau dicapai dengan menghitung jumlah pendapat umum tentang
Reformasi. Kebenaran tidak sama dengan popularitas, dan tidak bisa diukur
dengan jumlah orang yang siap menerimanya sebagai kebenaran.
Pada
dasarnya tidak ada perbedaan mendasar antara Orde Baru dan pemerintahan yang
sekarang. Orde Baru di bawah Soeharto dapat disebut Orde Baru jilid 1,
pemerintahan SBY dapat disebut Orde Baru jilid 2. Ada sejumlah perbedaan dalam
penampilan, kosmetik, taktik dan retorika di antara keduanya karena perbedaan
lingkungan dan kesempatan. Orde Baru jilid 2 pada dasarnya diisi oleh
orang-orang yang pernah berkuasa di masa Orde Baru jilid 1 ditambah beberapa
penggembira hasil binaannya. Berbagai corak kepentingan politik dan
ekonomi-serta elite yang berkuasa-di kedua masa masih kurang-lebih sama. Sikap
keduanya sama terhadap kepentingan publik, seperti tampak dalam kasus Lapindo,
TKW, dan Munir.
Satu-satunya
perbedaan penting di antara keduanya, Orde Baru jilid 1 sangat kuat dan
gemerlap. Sedangkan Orde Baru lanjutannya amburadul. Pemerintahan yang sekarang
bukan cuma Orde Baru jilid 2 (urutan waktu), tapi juga Orde Baru kelas 2
(kualitas). Maka kerinduan terhadap kejayaan masa lalu Orde Baru dapat
dimak-lumi, terlepas dari validitas survei Indo Barometer. Daya fantasi
khalayak umum masih sebatas propaganda Orde Baru. Mereka tidak akan merindukan
kondisi yang tidak terjangkau imajinasi mereka, termasuk masa pra-Orde Baru.
Kesinambungan
historis kesadaran Orde Baru juga tampil dalam bahasa dan kerangka berpikir
penyusun survei Indo Barometer sendiri. Untuk menyebut pemerintahan sebelum
Orde Baru, mereka menggunakan istilah "Orde Lama". Ini istilah baku
propaganda Orde Baru yang tidak merujuk kenyataan faktual. Dalam kenyataan
sejarah, tidak ada sebuah pemerintahan di Indonesia yang menyebut diri atau
dapat disebut "Orde Lama", karena tidak jelas kapan lahirnya.
Mengapa
Orde Baru jilid 1 sedemikian kuat, dan yang sekarang kembang-kempis? Sedikitnya
dua faktor layak dipertimbangkan. Pertama, Order Baru di bawah Soeharto
merupakan rezim pesanan yang disponsori Blok Barat dalam Perang Dingin untuk
menumpas komunisme. Dengan berakhirnya Perang Dingin di awal 1990-an, berakhir
pulalah tugas Soeharto, juga banjir bantuan militer dan dana bantuan untuk
rezim ini.
Orde
Baru jilid 2 tidak punya sponsor raksasa seperti itu.
Kedua,
berbagai kondisi amburadul yang ditanggung pemerintahan pasca-Soeharto
merupakan dampak langsung dari pesta-pora korupsi, teror, dan penghancuran
pranata sosial yang dilakukan rezim Soeharto. Salah satu kerusakan yang
dilakukan secara sistematis di masa Soeharto adalah proses pembodohan nasional.
Dengan asumsi survei Indo Barometer itu valid, hasil yang disimpulkannya
merupakan petunjuk gamblang tentang dampak pembodohan nasional tersebut.
Jawaban "tidak tahu" sangat besar untuk berbagai pertanyaan survei
Indo Barometer.
Penjarahan
harta bangsa-negara, pembunuhan besar-besaran, dan berbagai kekejian rezim Orde
Baru selama lebih dari 30 tahun sudah banyak dicatat masyarakat. Yang belum
cukup kita pahami adalah dampak berjangka-panjang pembodohan nasional, lewat
berbagai bentuk sensor, pembredelan media, dan propaganda gila-gilaan yang
disebarkan dengan berbagai istilah: warta berita, pidato pejabat, penataran,
kurikulum, pawai, sinetron, dan museum.
Sumber:http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/05/23/KL/mbm.20110523.KL136766.id.html
Sumber:http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/05/23/KL/mbm.20110523.KL136766.id.html
*)Ketua
Pusat Kajian Asia Tenggara The Australian National University
No comments:
Post a Comment