David Efendi
"Sandal
jepit, kaos oblong, dan sepeda ontel adalah simbul dari revolusi besar yang
kita tidak akan pernah pahami sebelum kita betul-betul mengerti bahwa
kekuasaan itu milik semua orang"
--David Efendi
Suasana hujan
dan dingin ini harusnya menjadikan kita semakin sensitif akan persoalan
sekeliling kita. Banyak hal yang menjadikan kita mesti banyak membaca keadaan
dan menceritakan ke khalayak. Banyak sekali orang yang tahu keadaan buruk
tetapi enggan bertutur, ada yang mengalami penindasan tetapi tidak berupaya
untuk mengubahnya. Jika ada teori gerakan sosial tentu itu hanya milik kaum
elit, setidaknya itu klaim yang pernah ada. Suatu gerakan yang efektif itu
nampaknya harus diperjuangkan oleh orang yang bukan hanya pihak kurban tetapi
orang diluar dirinya. Buruh tidak harus berjuang sendirian begitu juga
mahasiswa. Ini salah satu tanda geliat baru gerakan sosial. Tetapi kita akan
bicara betapa tidak langsungnya semangat perlawanan itu jika dikontekskan
dengan upaya merubah secara radikal.
Setidaknya ada
beberapa fenomena yang mengalami apa yang disebut aksi-reaksi, dan paradok
sosial. Pertama, ketika situasi mengakibatkan kesulitan mengakses pendidikan
tinggi. Tetapi beberapa orang sibuk memikirkan cara berpenampilan yang perlente
sebagai mahasiswa. Ini penyakit pertama yang mengakibatkan kaos oblong dan
sandal jepit dilarang masuk ruang dosen. Kedua, ketika demokratisasi disambut
dengan retorika pelayanan masyarakat keadaan sebaliknya terjadi yaitu pada saat
orang harus bekerja sehari-hari dengan keringat bercucuran ada banyak kantor
pemerintahan yang melarang rakyatnya masuk kantor dengan pakaian butut. Pakaian
butut dianggap tidak sopan dan tidak menghargai etika budaya setempat.
Terakhir, pada saat jalanan macet orang "normal" akan berfikir jalan
kurang lebar perlu dilebarkan, ada yang agak kritis, uang pembangunan jalan
ditilep masuk kantong pejabat (baca: penjahat). Ada juga yang dengan cara lain
punya usulan agar jalan dibiarkan begitu saja kalau perlu dipersempit
(pembahasan lebih lanjut akan ada dibagian akhir). Kelompok lainnya lebih
memilih tidak berkomentar dan terus saja mengayunkan sepede ontel atau becak di
saat lampu lalu lintas menyalah merah. Kenapa?
Lihatlah apa
yang 'mereka' perbuat
Tahun 2002-2010
saya dikampus besar di Yogyakarta di sana banyak cerita dan fakta. Bahkan
sampai tahun 2012 saya di kampus di negara bagian Amerika--Hawaii. Situasi dan
kebudayaan memang berbeda. Tetapi seharusnya cara berfikir dan bertindak tidak
jauh beda jika kita percaya pada akal sehat dan rasionalitas itu sendiri. Orang
sering bilang orang barat lebih mengutamakan rasionalitas alat(instrumental
rationality) ketimbang rasionalitas nilai (value rationality, see Weber). Nilai
dan moralitas serin dilekatkan pada masyarakat Timur. Ini adalah oposisi biner
yang sudah saatnya ditumbangkan. Apa yang kita sebut rasionalitas nilai di
masyarakat sering berujung pada rasionalitas alat dan nilai semu (baca:
rasionalitas emosi). Hal ini menjadi masuk akal karena, sebagaimana budaya dan
identitas, nilai-nilai itu adalah hasil rekayasa dan konstruksi kelas berkuasa
sehingga munculnya tata nilai-nilai itu bias kelas sosial (Karl Marx). Kelas
sosial tinggi (borjuasi) menciptakan tatatanan yang harus dianggap lebih
beradab oleh golongan di bawahnya. Inilah penindasan itu.
Salah satu contoh,
mahasiswa tidak boleh bersandal jepit dna kaos oblong dalam perkuliahan. Tidak
akan dilayani di bagian kemahasiswaan. Ini terjadi di UGM. kampus besar itu
sering memajang tulisan"Tidak melayani Mahasiswa yang bersandal jepit dan
kaos oblong", atau ada gambar sandal dan kaos oblong dengan palang
merah-nya. hal ini berlaku pula untuk pelayanan pemerintahan di desa dan
kecamatan juga di leval lainnya. Rasionalitas sebagai pelayan rakyat berubah
menjadi pengatur kehidupan rakyat bahkan sampai hal-hal yang privat (orang
memakai baju dan sandal saja diatur). Artinya kejahatan terhadap privasi itu
luar biasa.
Tetapi banyak
cara mahasiswa bisa lakukan. Walau mereka pakai sandal jepit dan kaos oblong
mereka toh bisa masuk kantor dan dilayani. Caranya? (1) Meminjam teman yang
pakai sepatu dan baju yang sedang dipakainya, bahkan saya lihat sendiri mereka
bertukar alas kaki dna baju tepat dihadapan petugas kantor jurusan. Seolah
mahasiswa itu ingin mengatakan sesuatu, yang hanya dia dan malaikat yang tahu.
Tetapi kita tahu bahwa itulah bentuk perlawanan yang tidak langsung. Expresi
hal ini sering juga terjadi bagi pejalan kaki di trotoar yang memilih berjalan
di aspal dengan konsekuensi ditabrak dari belakang karena keadaan trotoar
sangat buruk.
Kasus yang sama
terjadi pada pengendara sepeda ontel dan becak. Seringkali kita lihat becak dan
sepeda ontel jalan ketika rambu lalu lintas berwarna merah. Karena dia tahu,
kalau ikut berhenti akan mendapatkan kesulitan bergerak ketika ratusan motor
dan mobil menghimpit kanan dan kiri. Selain itu dia ingin keluar dari jebakan
stress dalam lalu lintas yang notabene bukan kenadaraan mereka penyebabnya.
Kadang mereka dihentikan oleh polisi dan dibilangi oleh polisi bahwa rambu lalu
lintas berlaku untuk semua tidak peduli bermesin atau tidak. Tetapi, kalau pun
mereka berhenti biasanya jauh di depan garis putih tanda batas jalan. Menyikapi
kemacetan mereka tidak terlalu pusing apalagi memikirkan jalan dilebarkan, bagi
mereka, bukan itu masalahnya tetapi ada sesuatu yang harus dikerjakan
pemerintah tetapi mereka tidak mau menyampaika secara langsung. Mereka tidak
pernah sibuk dengan urusan aturan pembatasan kendaraan. Salah satu hal yang
mereka kecewakan adalah 'angkuhnya para pengendara mesin itu). Beberapa seniman
dengan snatainya mengambar mural, "jangan bawa mobil ke jogja, makin macet
kotaku." Ekpresi ini muncul karena memang seniman itu harus melukiskan
walau dia tidak langsung meminta pemerintah melakukan sesuatu itu sudah jelas
artinya.Cara lain yang lebih simple adalah dengan mengenakan jaket dan celana
lebih panjangd dari sandal jepitnya. Memenuhi aturan itu 'pantangan' tetapi
tidak harus mengatakan bahwa kita tidak suka dengan aturan itu. Ini mahasiswa,
bukan petani, tetapi cara dan expresinya kenapa sama? (baca James Scott 1987
tentang weapon of the weaks) Apa karena sistem paradigma atau budaya sama?
apakaha mahassiwa itu berasal dari lingkungan petani?
Orang bilang
ekspresi tidak langsung itu tidak ada dampaknya terhadap perubahan (Matondang
2012). Maybe YES maybe NO. Satu hal yang sering kita tidak sadari adalah
justifikais kita terhadap masyarakat kebanyakan yang tidak mampu menghubungkan
masalah hulu (permukaan) dengan persoalan di hilir (akar masalah).
"Ketidakmampuan" itu sebenarnya bukan satu hal yang penting tetapi
memang karakter individu-individu itu tidak terorganisir dan memang menjadi
persoalan sehar-hari yang dekat dengan mereka. Jika menemukan akar masalah dan
bergerak mengubahnya itu namanya bukan everyday politik tetapi sudah menyangkut
tipe politik lainnya yang bergerak kearah advokasi dan politik konvensional.
Sekali lagi, "ketidakpahaman" dan "ketidaktahuan" itu hanya
justifikasi kita. Pada umumnya mereka tahu apa dan bagaimaa pemerintah
(pengambil kebijakan) harus bertindak tetapi mereka tidak mengatakan itu karena
itu sudah melewati batas posisi dirinya sebagai individu--rasionalitas mereka
adalah memahami posisi dan situasinya.
Dari kasus-kasus
tersebut, artinya peraturan-peraturan itu tidak akan mengubah keadaan dan cara
mahasiswa atau pengguna jalan umum? TIDAK selalu, bahkan kecil kemungkinan,
bahkan cenderung ada "pembangkangan" secara diam-diam. Secara
diam-diam mereka menolak situasi yang sulit dalam kehidupan yang dihimpit oleh
kapitalisme baru dan buruknya pelayanan pemerintah tetapi cara mereka
mengespresikannya sangat tidak langung dan bahkan tidak ada niat untuk
mengubahnya. Namun pembangakan diam-diam ini jika sudah menjadi rumor, gosip,
dimana-mana akan memungkinkan untuk menjadi suatu yang dapat menggerakan
perubhan. Ini kemudian diyakini sebagai the power of gossip atau the power of
everyday politics. Demikian semoga ada manfaat bagi pembaca.
No comments:
Post a Comment