David Efendi
"Demokrasi
Kita" adalah mahakarya seorang pemikir Indonesia, Muhammad Hatta dimana
sikap perjuangan dan karakternya tumbuh di era kolonialisme dan imperalisme.
kekayaan bacaan dan permenungannya menjadikan demokrasi yang digagasnya jauh
dari huru-hara propaganda sebagaimana kaum nasionalis lainnya yang seringkali
mengedepankan kekerasan fisik. Dalam batas tertentu dia membenarkan bahwa
nasionalisme adalah gerakan politik dirangkai dari imajinasi individu-individu
yang mempunyai sesuatu yang sama (sejarah, nasib, dan tradisi). Di sisi lain,
Hatta seolah tidak rela melihat banyak orang mati sia-sia atas nama
nasionalisme. Dia bereseberangan dengan nasionalisme yang disempitkan denagan
sentralisasi kekuasaan (baca: autoritarian), dengan kata lain dia sangat 'anti'
terhadap gagasan demokrasi terpimpin ala Sukarno.
Gagasan
"Demokrasi Kita" Bung Hatta jika ditarik genealoginya mungkin bagian
dari refleksi dari pengetahuan dan wawasannya yang luas, tradisi emmbaca banyak
literatur 'asing' lalu menjadi suatu gagasan yang dikontekstualisasikan dalam
kehidupan rakyat lalu membuat formula baru yang dianggap dapat bekerja. Praktik
dari hasil olah pikirnya kita bisa mengacu pada Maklumat X pada tanggal 16
Oktober 1945 dimana ide segar untuk mentransformasikan sistem pemerintahan
presidensial menjadi sistem parlementer, dari partai politik yang
"terbatas"/"dibatasi" menjadi sistem multi partai yang
sampai hari ini sebenarnya dampak itu masih terlihat. Bung Hatta mungkin sangat
paham tendensi penguasa dan karakter kekuasaan yang diyakini Lord Acton bahwa
kekuasaan cenderung menyeleweng dan kekuasaan yang absolut akan mengantarkan
kepada penyimpangan yang semakin besar. Kita faham bagaimana Indonesia
dipersonalisasikan menjadai seorang Sukarno, Suharto, atau bahkan sekarang
SBY.
Menarik untuk
dicatat, penggunaan kata "kita" dalam "Demokrasi Kita" yang
dipublikasikan tahun 1960 lalu menjadi catatan penting dalam sejarah demokrasi
Indonesia. Demokrasi kita adalah salah satu dinamika pembangunan demokrasi di
negeri Indonesia semenjak tahun 1945-60 dimana gelombang demokratisasi dunia
kedua sedang berkecamuk (Huntington 1992). Kata "Kita" sendiri bisa
ditafsirkan sebagai semangat sosialisme alaHatta yang ingin tetap
menempatkan Indonesia sebagai negara republik--dimana rakyat secara kolektif
menempati kedudukan paling tinggi, pemegang kedaulatan negara dna bukan kepada
segelintir orang kuat. Kekitaan ini sangat berarti, ketika banyak negara-negara
dunia ketiga setelah menumbangkan rejim imperialis lalu menggantikan dengan
bentuk kolonialisme baru oleh anak bangsa sendiri (diktator). Kekitaan juga
berarti bahwa nasionalism bisa diperjuangkan dengan jalan damai dengan
membangun suprastuktur dan infrastuktur politik yang tangguh.
Lebih dari
setengah abad yang lalu atau sekitar tahun lalu ide demokrasi kita dipublikasikan
dan disebarluaskan dengan kemampuan Bung Hatta dalam menulis dan beragumen,
sampai rela mempertaruhkan 'jabatan' dan kekuasaan yang akhirnya mengundurkan
diri dan pecah kongsi dari "dwi tunggal" Sukarno-Hatta. Mereka
berbeda pendapat, tetapi tidak mengorbankan rakyat dalam perang dingin
keyakinan antara sosok yang disebut oleh Herbert Feith (1962)
sebagai solidarity maker (Sukarno)
dan administrator (Hatta). Dalam demokrasi kita, kritik tegas dan
santun kepada Sukarno adalah bagian ikhtiar Hatta untuk menyampaikan gagasannya
yang berbeda, kebebasan menyampaikan pendapat ini juga bagian dari sikap
demokrat kedua belah pihak. Dalam satu penggalan uraiannya di Pandji
Masyarakat (1960), Hatta menyatakan bahwa gangguan demokrasi sebenarnya bukanlah
dari kesalahan rakyat, tetapi pemimpin demokrasi itu sendiri kemudian
mengantarkan kepada berbagai ujian pahit walau pada akhirnya akan muncul
koreksi di kemudian hari.
Apa yang
sebenarnya dimaksud Hatta dalam "demokrasi kita"? Pertama, ide dasar
adalah bahwa kekuasaan harur terbagi (desentralisasi) yang tidak memungkinkan
adanya dominasi kekuasaan berdasarkan ethnis atau agama. kedua, Demokrasi
haruslah mampu menjadikan rakyat berdaya dengan cara menginstall dengan
nilai-nilai humanisme. Terakhir, adalah bentuk negara federal walau memang ide
ini sangat kontroversial dengan kelompok 'ultra' nasionalis pada saat itu dan
bahkan sampai sekarang. Ide-ide demokrasi itu nampaknya juga mempengaruhi Hatta
sampai pada pemikiran ekonomi yang menempatkan gotong royong, asa kebersamaan
dan kekeluargaan menjadi fondasi kuat ekonomi Indonesia yang kemudian dikenal
sistem ekonomi pancasila/demokrasi ekonomi--dimana sektor riil harus dibangun
dan sedikit mengurangi orientasi makroekonomi.
Banyak pelajaran
dan teladan dari founding fathers ini dimana mereka senantiasa berkomitmen
untuk menempatkan kepentingan pribadi diatas kepentingan golongan, setiap gerak
dan langkah perjuangannya adalah bagian dari gerak cita-cita pembangunan bangsa
yaitu membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut serta membangun ketertiban dunia (Pembukaan UUD 1945). Sikap
kenegaraan ini harusnya terus dihidupkan kembali, setelah republik dan gagasan
"demokrasi kita" menginjak usianya melampui setengah abad.
Sebagai penutup
ungkapan optimisme Bung Hatta ini sangat penting dijadikan pelajaran bersama,
" “Tetapi Sedjarah memberi peladjaran djuga pada manusia. Suatu
barang jang bernilai seperti demokrasi baru dihargai, apabila hilang sementara
waktu. Asal bangsa kita mau beladjar dari kesalahannja dan berpegang kembali
kepada ideologi negara dengan djiwa murni, demokrai jang tertidur sementara
akan bangun kembali”. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa Hatta
lebih menekankan demokrasi yang esensial dari pada berwacana mengenai
mimpi-mimpi demokrasi elektoral yang sedang memakan banyak korban sampai hari
ini.
307C, Oct 28,
2011
PS: Ini adalah
tulisan kedua setelah versi pertama mengalami gangguan akibat hang sehingga
hilang dan dengan berat hati tulisan versi ini kelihatan sudah kurang semangat
dalam menulis.
No comments:
Post a Comment