Thursday, March 8, 2012

Indonesia Bergeming?


David Efendi


Kata Indonesia di dalam judul sebagai penekanan bahwa negeri ini masih berbentuk republik dimana kedaulatan mutlak berada ditangan rakyat, paling tidak, konstitusi mengatakan demikian (Pasal 1 UUD 1945). Kata Indonesia, selain menjadi 'kesadaran' kebangsaan kita sebagai bagian dari Indonesia, setidaknya harapan bersama adalah bahwa kata Indonesia itu masih ada dalam ide dan pikiran rakyat.

Ide bernegara dalam masyarakat yang sedang tunggang langgang, atau meminjam bahasa Gidden masyarakat global ini sebagai runway world--siapa cepat dia dapat, maka ide negara itu sangatlah labih dan bisa mengarah kepada sikap-sikap anti negara, anti pejabat jika kesalahan urus rakyat terus diulang-ulang, korupsi tidak semakin sirna malah semakin sistemik. Nasionalisme yang diaugungkan dalam seremoni sudah disinggung oleh Benedict Anderson hanya sebagai bangunan 'imajinasi'. Jika situasi tidak menyenangkan dan 99% rakyat hidup dalam kesulitan, maka gagasan nation-state bisa saja digadaikan untuk sekedar bertahan hidup.

Eksistensi rakyat sebagai subjek dalam NKRI ini ternyata mengalami keterpurukan yang luar biasa, apabila nurani kita melihat bagaimana rakyat kebanyakan berjuang melawan keterbatasan dan himpitan ekonomi sehari-hari maka mereka adalah kelompok manusia yang berhak melakukan apa saja karena tingkat kedaruratan dalam hidupnya. Aksi pencurian makanan, pembakaran perkebunan, dan ekspresi struggle of the fittest dalam kehidupan sehari-hari adalah dapat dibenarkan akibat absennya negara dan gagalnya negara menjadikan rakyat 99% sebagai subjek pembangunan dan bukan menjadi obyek segala ideologi pembangunanisme yang diboncengi oleh liberalisasi dan kapitalisme dalam bidang politik, sosial, dan budaya.

Dalam penggalan sejarah di Inggris dan Perancis, sebagaimana yang digambarkan oleh Dough McAdam (1998), bahwa klaim-klaim kebenaran bisa menjadi beragam ditengah keberadaan negara mengalami krisis dan secara ekonomi politik tidak stabil dimana pihak otoritas menganggap aksi-aksi penjarahan dan perebutan sumber daya pangan sebagai perbuatan yang anti hukum, liar, dan tidak beradab, sementara dipihak pelaku justru mengklaim bahwa perbuatan itu adalah hak sebagaimana E.P Thompson (1971) mendefinisikan sebagai 'the right to justice' dipopulerkan kembali oleh James C Scott (1976) dengan 'the moral economy' masyarakat di tengah-tengah ketidakberdayaan 'negara'. Bentuk-bentuk lain dari pembangkangan sipil baik secara damai atau kekerasan sudah tercatat dalam sejarah sebagai pelajaran dari kita seperti dii India dengan Gandi dan anti kekerasannya, di Eropa dan Amerika lebih anarkis bentuknya.


Ketidakberdayaan negara dapat disebabkan oleh kuatnya elit penguasa dan pengusaha yang bersatu menjadi predator bagi negara itu sendiri. Pembangunan ekonomi dan sistem politik ditunggangi untuk melegitimasi kekuasaan dan penjamin keberlangsungan sebagai elit penentu (the rulling elites) sehingga dengan gampang mengorbankan 99% rakyat Indonesia yang berada dalam ketidakpastian masa depan. Nada-nada provokasi ini bukanlah isapan jempol karena kita menyaksikan berbagai 'revolusi' sedang berkecamuk mulai Europe spring, Arab Spring yang berujung pada runtuhnya pengausa secara dramatis oleh kekuatan massa rakyat. Jejaring online-internet seperti Facebook, milis, tweeter, life streming disimpulkan banyak peneliti telah memberikan konstribusi besar dalam mobilisasi gerakan perlawanan anti-regim seperti di Mesir, Tunisia, Libya dan masih ada beberapa yang sedang berkecamuk.

Kegagalan negara dalam tiga ranah seperti penyedia keamanan, kesejahteraan, dan ketidaktersedian jaminan masa depan memungkinkan terjadinya kekacauan-kekacaun yang membesar menjadi revolusi. Negeri-negeri mayoritas Islam sudah membuktikan, kita adalah (mungkin) akan pada sampai gilirannya jika dan apabila sistem tata kelola negara tidak berubah, jika elit 1% di negeri ini tidak bergeming.


Jika demikian, maka tunggulah kehancuran dan Indonesia harus siap-siap masuk musium sejarah! Jika penguasa menabrak hukum menjadi lumrah, sementara rakyat dijerat hukum setiap nafasnya. Apabila segelintir elite penentu di negeri hanya berorientasi memperjuangkan kepentingannyai maka terjadilah apa yang disebut Garret Hardin ( 1968) sebagai Tregedy of the Commons yang diadopsi dari karya William Forster Lloyd (Two Lectures on the Checks to Population, 1833) yaang mengkisahkan kompetisi antar kelompok atau individu yang merasa hak dan kebebasannya tidak dibatasi oleh kepentingan lainnya atau orang lain akibatnya setiap orang ingin memperluas keuntungan yang ujungnya akan berakibat pada survival of the fittes dengan menghalalkan segala cara seperti yang disinyalir Thomas Hobbes (1651), homo homini lupus, atau every one against averyone, sebagaimana tabiat dalam human of war dalam berbagai turunan bentukannya dan anak cucunya dimana tidak ada konsep keadilan (justice-injustice), tidak ada konsep right or wrong. Perang bisa melumpuhkan segalanya, dan perang kota kecil akan merambat menjadi perang kota besar dimana nilai-nilai kemanusiaan, hukum, perjanjian tidak lagi diindahkan.


Jika kealfaan negara ini, jika 1% orang yang berada dalam kekuasaan dan pemerintahan tidak bergeming maka ada beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan akibat-akibat yang menjadi konsekuensi logis. Kemungkinan pertama, ketika negara-negara superordinate yang menjadi haluan ekonomi Indonesia seperti Amerika terus mengalami keterpurukan ekonomi maka Indonesia akan terkena dampak yang sangat serius sebagai 'negara penyangga' dan ini akan kembali memancing penarikan subsidi dan penaikan harga BBM yang telah terbukti memberikan dampak sistemik pada kehidupan sehari-hari rakyat.

Upaya perlawanan rakyat mulai muncul dalam ekspresi-ekspresi kecil, ringan, dan massif di banyak tempat sebagai bagian dari rasa frutasi sosial. Kedua, kencangnya arus informasi mengenai perubahan-perubahan rejim penguasa dibanyak negara muslim, diprediksi akan menjadi efek bola salju ke Indonesia jika beberapa prekondisi terpenuhi seperti kelangkaan sumber daya pangan dan lapangan pekerjaan serta didukung intensitas kelompok sipil non parlementer. Dan terakhir, jika ada perubahan kemungkinan akan bergerak di level bawah karena secara geografik gerakan ketidakpuasan massa sulit membesar secara mendadak akibat posisi wilayah kepulauan Indonesia namun kelompok masyarakat kota akan bergerak lebih radikal akibat tekanan ekonomi dan politik.

Akhirnya, jika kita masih mengaku bagian dari Indonesia dan Indonesia bagian dari hidup kita, mengapa kita masih melihat elite penguasa tetap bergeming? dan seperti gerak mundur perlahan-lahan tetapi pasti. 

No comments:

Post a Comment