David Efendi
Kata Indonesia
di dalam judul sebagai penekanan bahwa negeri ini masih berbentuk republik
dimana kedaulatan mutlak berada ditangan rakyat, paling tidak, konstitusi
mengatakan demikian (Pasal 1 UUD 1945). Kata Indonesia, selain menjadi
'kesadaran' kebangsaan kita sebagai bagian dari Indonesia, setidaknya harapan
bersama adalah bahwa kata Indonesia itu masih ada dalam ide dan pikiran rakyat.
Ide bernegara
dalam masyarakat yang sedang tunggang langgang, atau meminjam bahasa Gidden
masyarakat global ini sebagai runway world--siapa cepat dia dapat, maka ide
negara itu sangatlah labih dan bisa mengarah kepada sikap-sikap anti negara,
anti pejabat jika kesalahan urus rakyat terus diulang-ulang, korupsi tidak
semakin sirna malah semakin sistemik. Nasionalisme yang diaugungkan dalam
seremoni sudah disinggung oleh Benedict Anderson hanya sebagai bangunan
'imajinasi'. Jika situasi tidak menyenangkan dan 99% rakyat hidup dalam
kesulitan, maka gagasan nation-state bisa saja digadaikan untuk sekedar
bertahan hidup.
Eksistensi
rakyat sebagai subjek dalam NKRI ini ternyata mengalami keterpurukan yang luar
biasa, apabila nurani kita melihat bagaimana rakyat kebanyakan berjuang melawan
keterbatasan dan himpitan ekonomi sehari-hari maka mereka adalah kelompok
manusia yang berhak melakukan apa saja karena tingkat kedaruratan dalam
hidupnya. Aksi pencurian makanan, pembakaran perkebunan, dan ekspresi struggle
of the fittest dalam kehidupan sehari-hari adalah dapat dibenarkan akibat
absennya negara dan gagalnya negara menjadikan rakyat 99% sebagai subjek
pembangunan dan bukan menjadi obyek segala ideologi pembangunanisme yang
diboncengi oleh liberalisasi dan kapitalisme dalam bidang politik, sosial, dan
budaya.
Dalam penggalan
sejarah di Inggris dan Perancis, sebagaimana yang digambarkan oleh Dough McAdam
(1998), bahwa klaim-klaim kebenaran bisa menjadi beragam ditengah keberadaan
negara mengalami krisis dan secara ekonomi politik tidak stabil dimana pihak
otoritas menganggap aksi-aksi penjarahan dan perebutan sumber daya pangan
sebagai perbuatan yang anti hukum, liar, dan tidak beradab, sementara dipihak
pelaku justru mengklaim bahwa perbuatan itu adalah hak sebagaimana E.P Thompson
(1971) mendefinisikan sebagai 'the right to justice' dipopulerkan kembali oleh
James C Scott (1976) dengan 'the moral economy' masyarakat di tengah-tengah
ketidakberdayaan 'negara'. Bentuk-bentuk lain dari pembangkangan sipil baik
secara damai atau kekerasan sudah tercatat dalam sejarah sebagai pelajaran dari
kita seperti dii India dengan Gandi dan anti kekerasannya, di Eropa dan Amerika
lebih anarkis bentuknya.
Ketidakberdayaan
negara dapat disebabkan oleh kuatnya elit penguasa dan pengusaha yang bersatu
menjadi predator bagi negara itu sendiri. Pembangunan ekonomi dan sistem
politik ditunggangi untuk melegitimasi kekuasaan dan penjamin keberlangsungan
sebagai elit penentu (the rulling elites) sehingga dengan gampang mengorbankan
99% rakyat Indonesia yang berada dalam ketidakpastian masa depan. Nada-nada
provokasi ini bukanlah isapan jempol karena kita menyaksikan berbagai
'revolusi' sedang berkecamuk mulai Europe spring, Arab Spring yang berujung
pada runtuhnya pengausa secara dramatis oleh kekuatan massa rakyat. Jejaring
online-internet seperti Facebook, milis, tweeter, life streming disimpulkan
banyak peneliti telah memberikan konstribusi besar dalam mobilisasi gerakan
perlawanan anti-regim seperti di Mesir, Tunisia, Libya dan masih ada beberapa
yang sedang berkecamuk.
Kegagalan negara
dalam tiga ranah seperti penyedia keamanan, kesejahteraan, dan ketidaktersedian
jaminan masa depan memungkinkan terjadinya kekacauan-kekacaun yang membesar
menjadi revolusi. Negeri-negeri mayoritas Islam sudah membuktikan, kita adalah
(mungkin) akan pada sampai gilirannya jika dan apabila sistem tata kelola
negara tidak berubah, jika elit 1% di negeri ini tidak bergeming.
Jika demikian,
maka tunggulah kehancuran dan Indonesia harus siap-siap masuk musium sejarah!
Jika penguasa menabrak hukum menjadi lumrah, sementara rakyat dijerat hukum
setiap nafasnya. Apabila segelintir elite penentu di negeri hanya berorientasi
memperjuangkan kepentingannyai maka terjadilah apa yang disebut Garret Hardin (
1968) sebagai Tregedy of the Commons yang diadopsi dari karya William Forster
Lloyd (Two Lectures on the Checks to Population, 1833) yaang mengkisahkan
kompetisi antar kelompok atau individu yang merasa hak dan kebebasannya tidak
dibatasi oleh kepentingan lainnya atau orang lain akibatnya setiap orang ingin
memperluas keuntungan yang ujungnya akan berakibat pada survival of the
fittes dengan menghalalkan segala cara seperti yang disinyalir Thomas
Hobbes (1651), homo homini lupus, atau every one against averyone, sebagaimana
tabiat dalam human of war dalam berbagai turunan bentukannya dan anak cucunya
dimana tidak ada konsep keadilan (justice-injustice), tidak ada konsep right or
wrong. Perang bisa melumpuhkan segalanya, dan perang kota kecil akan merambat
menjadi perang kota besar dimana nilai-nilai kemanusiaan, hukum, perjanjian
tidak lagi diindahkan.
Jika kealfaan
negara ini, jika 1% orang yang berada dalam kekuasaan dan pemerintahan tidak
bergeming maka ada beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan akibat-akibat
yang menjadi konsekuensi logis. Kemungkinan pertama, ketika negara-negara
superordinate yang menjadi haluan ekonomi Indonesia seperti Amerika terus
mengalami keterpurukan ekonomi maka Indonesia akan terkena dampak yang sangat
serius sebagai 'negara penyangga' dan ini akan kembali memancing penarikan
subsidi dan penaikan harga BBM yang telah terbukti memberikan dampak sistemik
pada kehidupan sehari-hari rakyat.
Upaya perlawanan
rakyat mulai muncul dalam ekspresi-ekspresi kecil, ringan, dan massif di banyak
tempat sebagai bagian dari rasa frutasi sosial. Kedua, kencangnya arus
informasi mengenai perubahan-perubahan rejim penguasa dibanyak negara muslim,
diprediksi akan menjadi efek bola salju ke Indonesia jika beberapa prekondisi
terpenuhi seperti kelangkaan sumber daya pangan dan lapangan pekerjaan serta
didukung intensitas kelompok sipil non parlementer. Dan terakhir, jika ada
perubahan kemungkinan akan bergerak di level bawah karena secara geografik
gerakan ketidakpuasan massa sulit membesar secara mendadak akibat posisi
wilayah kepulauan Indonesia namun kelompok masyarakat kota akan bergerak lebih
radikal akibat tekanan ekonomi dan politik.
Akhirnya, jika
kita masih mengaku bagian dari Indonesia dan Indonesia bagian dari hidup kita,
mengapa kita masih melihat elite penguasa tetap bergeming? dan seperti gerak
mundur perlahan-lahan tetapi pasti.
No comments:
Post a Comment