David Efendi
Ketika saya mencintai puisi-puisi perlawanan saya akhirnya diketemukan
dengan sosok Widji Thukul yang tidak pernah aku temui secara langsung. Walau
demikian sajak-sajaknya membuat semua otak dan jiwaku bergerak mengamini
realitas yang digambarkan oleh Tukul. Dia dikenal sebagai aktifis buruh yang
menantang kebengisan penguasa melalui puisi dan gerakan turun ke jalan. Secara
individu dia melawan dengan pena dan puisi secara kolektif dia mempunyai tenaga
untuk bergerak. Di ujung kehancuran orde Suharto di tahun 1998, dia banyak
menumpahkan peluru panas lewat puisi lalu dia hilang sebagai martir---revolusi
memakan anak kandungnya sendiri.
Ada dua puisi yang saya analisis untuk memberikan gambaran bagaimana
pemberontakan sastra itu menjadi terbuka (manifes) dan juga bisa menjadi
tertutup (Laten). Kemungkinan terbuka dan tertutup itu ternyata sudah ditangkap
oleh Tukul untuk mengatakan bahwa bibit revolusi dan pemberontakan selalu ada
dalam masyarakat yang timpang: miskin dan tertindas. Ketika kekuasaan sangat
represif dan kualitas penderitaan tidak tertahankan lagi mereka akan melawan
jika ada solidaritas antar buruh dan orang miskin. Jika keadaan masih bisa
ditahan, kekuatan terjaga dan diam.
Puisi pertama bunyinya demikian:
Bunga dan Tembok
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kau hendaki
tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan
merampas tanah
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kau kehendaki
adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya
dan pagar besi
seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan
di bumi kami sendiri
jika kami bunga
engkau adalah tembok itu
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar
biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan
keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di manapun-tirani harus
tumbang!
Revolusi, dimulai dari keyakinan dan lalu bergerak diumpamakan dengan
bunga yang tumbuh bersama-sama di tembok lalu tembok akan runtuh. Itulah proses
revolusi yang ternyata mampu menjatuhkan penguasa Orde Baru. Tulisan ini dibuat
sebelum Suharto tumbang dan keyakinan itu telah dicatat sejarah sebagai
keyakinan yang menemukan realitasnya.
Kedua
adalah puisi dimana memberikan gambaran bahwa kekuatan rakyat yang tersembunyi
bisa meledak kapan saja. Karena dengan hati-hati rakyat mengungkapkan ketidaksenangan
dengan penguasa. Perlawanan sunyi itu diexpresikan sebagai ancaman besar yang
akan merongrong penguasa. Puisi itu bunyinya begini:
Peringatan
jika rakyat pergi
ketika penguasa
pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat bersembunyi
dan
berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada
dan belajar mendengar
bila rakyat berani mengeluh
itu artinya
sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti
terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara
dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu
keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
Puisi
ini mempunyai level provokasi dan efektifitas gerakan organic yang luar biasa.
Dia yakin bahwa kekuasaan itu adalah tidak bisa dimonopoli Negara. Kekuasaan
dan tenaga adalah milik buruh, milik kaum tertindas, dan kenekatan itu adalah
kekuatan yang tidak pernah dimiliki penguasa mana pun. Orang miskin pasti
radikal dan radikalitas itu dikendalikan oleh keyakinan bahwa mereka adalah
manusia yang butuh kelayakan hidup. Perjuangan kelas adalah bagian darinya dan
perjuangan sehari-hari itu muncul dari setiap ekpresi individu ketika
menghadapi pahitnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Gosip
dan rumor adalah bagian dari kebudayaan wong cilik sehari-hari. Jika penguasa
sudah digosipd an diabaikan omongannya maka kekuasaan itu sudah melemah di mata
public. Ketika orang tertindas meyakini bahwa Negara lemah, disitulah pemberontakan
dimulai.
No comments:
Post a Comment