David Efendi
Mesin pencari
google.com tidak memberikan jawaban yang pas terkait pertanyaan saya apa
perbedaan antara everyday politics dengan daily politics. Saya mencoba
mencarinya dalam bahasa inggris pun tidak diberikan jawaban hanya beberapa link
yang terpisah tanpa definisi yang jelas. Pernah saya juga meminta penjelasan
pada orang yang menulis everyday politik yang juga menempatkan daily politics
sebagai dua term yang interchangable satu sama lainnya. Walhasil sampai
sekarang saya lebih konservatif pada konsep everyday politics ala Ben Kerkvliet
(pembimbing saya di UH Manoa) dan juga everyday resistance yang dikembangkan
oleh James Scott. Saya juga berusaha membedakan beberapa definisi yang
mempunyai kemiripan dan overlapping (baca artikel saya 'Irisan dan Potongan
Everyday politics').
Secara
genealogis, saya kira perkembangan study politic dalam level micro (untuk
mengkontraskan dengan mainstream ilmu politik yang terkait perebutan dan relasi
kekuasaan dalam trias politika) sangat kuat dipengaruhi oleh sosilogi,
antropologi dan juga ethnografi dalam riset-riset sosial. Karena hal ini
melintasi beberapa disiplin ilmu, kajian everday politik sering juga dikaitkan
dengan term politics od everyday life. Selain itu disebut juga daily politics.
Lalu apa
perbedaan Daily politics, everyday politics, dan politics in everyday life?
Pertama, daily
politik sering terkait dengan nama sebuah media di Inggris dan Eropa yang
memberikan laporan terkait isu, berita wacana politik sehari-hari dalam
perkembangan menit atau bahkan detik. Sehingga saya lebih melihat ini sebagai
kejadian politik sehari-hari di level pemerintahan dan advokasi politik dimana
aspek kebiasaan masyarakat kelas bawa tidak diangkat sebagai fokus utama berita.
Tipe politik ini menurut saya tidak lain dan tidak bukan adalah politik yang
dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena mengidap persoalan
klasik--politics as busness as usual. Di mana politisi mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya dalam sistem pemerintahan yang korup. Daily politics inilah
yang membuat makna politik terdistorsi jauh dari arena mulia untuk pengabdian
menjadi arena "dagang sapi" yang sangat berbahaya bagi kelangsungan
bangsa.
Kedua, everday
politics dan politics of everyday life adalah dua hal yang tidak mempunyai
perbedaan sebab titik utama adalah individu dan kelompok komunitas yang tidak
secara langsung bersingungan dengan level konfensional politik. Mereka beregrak
sehari-hari dalam cita rasa tradisi, kebiasaan, gossip, dan forum-forum
informal yang tidak punya agenda terorganisir untuk melakukan perubahan.
Sependapat dengan Kerkevliet, bahwa karakter tidak langsung dan tidak
terorganisir inilah yang membedakan everyday politics dengan daily politics.
Ketidaklangsungan itu menurut saya, bukan karena ketidaktahuan mereka mengenai
saluran politik seperti parlemen dan partai politik emlainkan karena mereka
tidak ingin masuk kesana karena masyarakat ingin menghadapi situasi buruk
bersama-sama secara "santai." Everyday politics adalah makna baru
yang dikembangkan untuk lebih mengapresiasi masyarakat biasa, individu yang
sering emnjadi 'obyek' dari politik konvensional walau sebenarnya mereka adalah
'subyek' perubahan fundamental suatu bangsa. Everday politik juga menjadi
antidote dari daily politik yang miskin dinamika, stagnan, dan sering mengalami
involusi. Jika demikian, ilmu politik juga akan jalan ditempat.
Tapi harus
diakui juga bahwa 'everyday politics' dan 'daily politics' mempunyai
ketersingungan satu sama lain. Apalagi dalam term bahasa Indonesia kedua tipe
politik ini seringkali disamakan artinya. Hal ini juga terlihat dalam satu
catatan Amalinda Savirani mengenai pergeseran tema skripsi mahasiswa UGM dari
Birokrasi ke Angkringan. Pada beberapa hal saya sering kurang mendapatkan
keterangan mengenai definisi daily politik yang dimaksud oleh teman-teman yang
komentar disana. Hal ini dipahamis ebagai pergeseran minat penerlitian dari
konfensional politik ke arah everyday politis dan bukan daily politik sebab
daily politik yang saya pahami adalah perilaku elit politik dan bukan
grassroot. Tapi pergeseran minat ini sangat perlu diapresiasi agar peneliti
politik tidak membeku dalam ruang pengap politik konvensional (legislatif,
yudikatif, eksekutif dan hubungan antar lembaga tersebut). Minat mahasiswa ilmu
pemerintahan UGM terkait ranah society sudah sangat kuat semenjak pasca orde
baru. Hal ini juga direspon oleh jurusan bahwa ada tiga ranah study yang
dikembangkan yaitu ranah negara (state society), ranah intermediate, dan ranah
civil society termasuk juga busness society (ranah masyarakat ekonomi).
Argumentasi mengenai hubungan antara everyday politics
dengan gerakan sosial yang selama ini terjadi. Setidaknya ada empat ranah yang
muncul dalam beberapa gerakan sosial terutama yang terjadi di Indonesia pasca
reformasi. Pertama gerakan yang bersifat wacana, tuntutan atas regulasi,
gerakan advokasi kebijakan, gerakan massa (Arisudjito, 2004). Gerakan wacana
bisa dilakukan oleh individu sedangkan gerakan kedua dan ketiga mutlak
membuthkan pengorganisasian yang baik sebagaimana NGO yang tumbuh seperti jamur
di musikm hujan pasca runtuhnya Suharto. Ketrebukaan kran politik ini juga
memberikan kesempatan luas bagi munculkan gerakan masyarakat sipil yan radikal
(Eishinger, 1973) dengan beranekaragam motivasi, strategi, dan orientasinya.
Namun sebagaimana yang dikemukakan oleh teori mobilisasi sumber daya
seperti oleh McCharty, McADam, dan Zald yang menyatakan keberadaan jaringan
informal, basis budaya, modal sosial masyarakat serta institusi yang telah
mapan baik formal maupun informal mampu menggerakkan sebuah perubahan. Termasuk
simbul-simbul dan ingatan massa (public memory) tentang masa lalu menjadi
senjata yang ampuh untuk bergerak. Selain itu juga sangat perlu dukungan dari
pihak eskternal untuk membuat gerakan lebih luas radius pengaruhnya. Ingatan
massa, ideology, dan orientasi itulah yang melekat pada individu yang
memungkinkan dapat diorganisir. Jika tidak terorganisir mereka tetap bisa
melakukan perlawanan dengan caranya sendiri.
Kejenuhan akan
study birokrasi dan organisasi pemerintahan dpaat dipahami karena dinamika yang
terjadi sangat terbatas dan metodologi untuk analisis juga mentok sehingga
minat dipastikan bergeser apalagi bagi mahasiswa yang mempunyai ideologi dan
minat riset yang komprehensif. Satu terobosan besar misalnya, Seorang
etnographer Karen Ho (2009) yang menulis buku Liquidated: An Ethnography
of Wall Street mampu mengaplikasikan hubungan kompleks antara metode riset
ethnografi, dengan sistem keuangan global dan politisasi yang terjadi di
dalamnya. Tidak hanya itu, aspek kehidupan sehari-hari, background, habitus
dari pemain dalam bursa uang global pun dianalisis. Catatan-catatan pengalaman
pribadi ikut mewarnai hasil bidikan dari dalam (insider reseracher). Begitu
juga kita, ketika kita ada dalam realitas masyarakat sehari-hari seharusnya
kita punya andil untuk emmahami dinamika akar rumput dengan metode yang dapat
dikategorikan "ilmiah" walau kurang menjadi perhatian banyak
akademisi.
Demikian catatan
singkat ini. Banyak kekurangan disana-sini dan perlu mendapatkan suplemen
komentar dan opini yang konstruktif. Mari kita diskusi dengan santai
saja.
No comments:
Post a Comment