Wednesday, March 14, 2012

Apa itu "everyday politics"? dan apa yang bukan?


David Efendi

Mesin pencari google.com tidak memberikan jawaban yang pas terkait pertanyaan saya apa perbedaan antara everyday politics dengan daily politics. Saya mencoba mencarinya dalam bahasa inggris pun tidak diberikan jawaban hanya beberapa link yang terpisah tanpa definisi yang jelas. Pernah saya juga meminta penjelasan pada orang yang menulis everyday politik yang juga menempatkan daily politics sebagai dua term yang interchangable satu sama lainnya. Walhasil sampai sekarang saya lebih konservatif pada konsep everyday politics ala Ben Kerkvliet (pembimbing saya di UH Manoa) dan juga everyday resistance yang dikembangkan oleh James Scott. Saya juga berusaha membedakan beberapa definisi yang mempunyai kemiripan dan overlapping (baca artikel saya 'Irisan dan Potongan Everyday politics').


Secara genealogis, saya kira perkembangan study politic dalam level micro (untuk mengkontraskan dengan mainstream ilmu politik yang terkait perebutan dan relasi kekuasaan dalam trias politika) sangat kuat dipengaruhi oleh sosilogi, antropologi dan juga ethnografi dalam riset-riset sosial. Karena hal ini melintasi beberapa disiplin ilmu, kajian everday politik sering juga dikaitkan dengan term politics od everyday life. Selain itu disebut juga daily politics.

Lalu apa perbedaan Daily politics, everyday politics, dan politics in everyday life?
Pertama, daily politik sering terkait dengan nama sebuah media di Inggris dan Eropa yang memberikan laporan terkait isu, berita wacana politik sehari-hari dalam perkembangan menit atau bahkan detik. Sehingga saya lebih melihat ini sebagai kejadian politik sehari-hari di level pemerintahan dan advokasi politik dimana aspek kebiasaan masyarakat kelas bawa tidak diangkat sebagai fokus utama berita. Tipe politik ini menurut saya tidak lain dan tidak bukan adalah politik yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena mengidap persoalan klasik--politics as busness as usual. Di mana politisi mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dalam sistem pemerintahan yang korup. Daily politics inilah yang membuat makna politik terdistorsi jauh dari arena mulia untuk pengabdian menjadi arena "dagang sapi" yang sangat berbahaya bagi kelangsungan bangsa.

Kedua, everday politics dan politics of everyday life adalah dua hal yang tidak mempunyai perbedaan sebab titik utama adalah individu dan kelompok komunitas yang tidak secara langsung bersingungan dengan level konfensional politik. Mereka beregrak sehari-hari dalam cita rasa tradisi, kebiasaan, gossip, dan forum-forum informal yang tidak punya agenda terorganisir untuk melakukan perubahan. Sependapat dengan Kerkevliet, bahwa karakter tidak langsung dan tidak terorganisir inilah yang membedakan everyday politics dengan daily politics. Ketidaklangsungan itu menurut saya, bukan karena ketidaktahuan mereka mengenai saluran politik seperti parlemen dan partai politik emlainkan karena mereka tidak ingin masuk kesana karena masyarakat ingin menghadapi situasi buruk bersama-sama secara "santai." Everyday politics adalah makna baru yang dikembangkan untuk lebih mengapresiasi masyarakat biasa, individu yang sering emnjadi 'obyek' dari politik konvensional walau sebenarnya mereka adalah 'subyek' perubahan fundamental suatu bangsa. Everday politik juga menjadi antidote dari daily politik yang miskin dinamika, stagnan, dan sering mengalami involusi. Jika demikian, ilmu politik juga akan jalan ditempat.

Tapi harus diakui juga bahwa 'everyday politics' dan 'daily politics' mempunyai ketersingungan satu sama lain. Apalagi dalam term bahasa Indonesia kedua tipe politik ini seringkali disamakan artinya. Hal ini juga terlihat dalam satu catatan Amalinda Savirani mengenai pergeseran tema skripsi mahasiswa UGM dari Birokrasi ke Angkringan. Pada beberapa hal saya sering kurang mendapatkan keterangan mengenai definisi daily politik yang dimaksud oleh teman-teman yang komentar disana. Hal ini dipahamis ebagai pergeseran minat penerlitian dari konfensional politik ke arah everyday politis dan bukan daily politik sebab daily politik yang saya pahami adalah perilaku elit politik dan bukan grassroot. Tapi pergeseran minat ini sangat perlu diapresiasi agar peneliti politik tidak membeku dalam ruang pengap politik konvensional (legislatif, yudikatif, eksekutif dan hubungan antar lembaga tersebut). Minat mahasiswa ilmu pemerintahan UGM terkait ranah society sudah sangat kuat semenjak pasca orde baru. Hal ini juga direspon oleh jurusan bahwa ada tiga ranah study yang dikembangkan yaitu ranah negara (state society), ranah intermediate, dan ranah civil society termasuk juga busness society (ranah masyarakat ekonomi).

Argumentasi mengenai hubungan antara everyday politics dengan gerakan sosial yang selama ini terjadi. Setidaknya ada empat ranah yang muncul dalam beberapa gerakan sosial terutama yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. Pertama gerakan yang bersifat wacana, tuntutan atas regulasi, gerakan advokasi kebijakan, gerakan massa (Arisudjito, 2004). Gerakan wacana bisa dilakukan oleh individu sedangkan gerakan kedua dan ketiga mutlak membuthkan pengorganisasian yang baik sebagaimana NGO yang tumbuh seperti jamur di musikm hujan pasca runtuhnya Suharto. Ketrebukaan kran politik ini juga memberikan kesempatan luas bagi munculkan gerakan masyarakat sipil yan radikal (Eishinger, 1973) dengan beranekaragam motivasi, strategi, dan orientasinya.  Namun sebagaimana yang dikemukakan oleh teori mobilisasi sumber daya seperti oleh McCharty, McADam, dan Zald yang menyatakan keberadaan jaringan informal, basis budaya, modal sosial masyarakat serta institusi yang telah mapan baik formal maupun informal mampu menggerakkan sebuah perubahan. Termasuk simbul-simbul dan ingatan massa (public memory) tentang masa lalu menjadi senjata yang ampuh untuk bergerak. Selain itu juga sangat perlu dukungan dari pihak eskternal untuk membuat gerakan lebih luas radius pengaruhnya. Ingatan massa, ideology, dan orientasi itulah yang melekat pada individu yang memungkinkan dapat diorganisir. Jika tidak terorganisir mereka tetap bisa melakukan perlawanan dengan caranya sendiri.

Kejenuhan akan study birokrasi dan organisasi pemerintahan dpaat dipahami karena dinamika yang terjadi sangat terbatas dan metodologi untuk analisis juga mentok sehingga minat dipastikan bergeser apalagi bagi mahasiswa yang mempunyai ideologi dan minat riset yang komprehensif. Satu terobosan besar misalnya, Seorang etnographer Karen Ho (2009) yang menulis buku Liquidated: An Ethnography of Wall Street mampu mengaplikasikan hubungan kompleks antara metode riset ethnografi, dengan sistem keuangan global dan politisasi yang terjadi di dalamnya. Tidak hanya itu, aspek kehidupan sehari-hari, background, habitus dari pemain dalam bursa uang global pun dianalisis. Catatan-catatan pengalaman pribadi ikut mewarnai hasil bidikan dari dalam (insider reseracher). Begitu juga kita, ketika kita ada dalam realitas masyarakat sehari-hari seharusnya kita punya andil untuk emmahami dinamika akar rumput dengan metode yang dapat dikategorikan "ilmiah" walau kurang menjadi perhatian banyak akademisi.

Demikian catatan singkat ini. Banyak kekurangan disana-sini dan perlu mendapatkan suplemen komentar dan opini yang konstruktif. Mari kita diskusi dengan santai saja. 

No comments:

Post a Comment