Thursday, March 8, 2012

Perihal "Otonomi" Daerah


David Efendi

Ketika projek otonomi daerah gagal, projet federalisasi mulai?

Terlintas ingin mendiskusikan perihal 'otonomi' setelah sekian lama saya mencoba absen dari apa yang disebut oleh profesor saya, Ben Kervliet sebagai official politics atau conventional politic yang berurusan dengan birokrasi, tata pemerintahan, dan berbagai piranti hukum yang dibuat. Politik konvensional selain an sich politik formal adalah juga bentuk-bentuk politik advokasi sementara everyday politics menempati kategori ketiga yang seirng luput dari perhatian publik secara luas (Kervliet 2010). Karena itu saya, selain berguru dengan James Scott mengenai Hidden trancript, every resistance, dan moral economy, saya juga senang nyantri secara private dengan profesor Ben Kervliet untuk kitab politik keseharian. Kategori ilmu ini mungkin bisa dikatakan sebagai antropologi politik. Pak Ben kedua setelah Ben Anderson ini sudah pensiun ketika saya masuk University of Hawaii, jadi sementara private menjadi pilihan baik secara online atau in person.

Otonomi memang menjadi kajian besar dalam dunia akademik, terutama setelah keruntuhan orde baru secara 'mendadak' dan disambut gegap gempita eforia demokrasi dan kebebasan. Di timur-timor menuntut merdeka, OPM bergerak, di Aceh GAM atau AGAM bergolak dengan melibatkan aktor internasional (Aspinal 2009:2), di beberapa daerah konflik mematikan berlansung, dan juga ancaman konflik horizontal. Bangsa yang habis sedang bergerak entah dimaknai sebagai konsolidasi atau anarki. Ujungnya Aceh dan Papua mendapatkan keistimewaan dan privilage tersendiri. Selain untuk meredam terjadinya kasus Timtim merdeka, ini adalah bentuk dari politisasi "otonomi" yang seringkali kehilangan substansi dan karakter otonomi itu sendiri. Sebagai tanbahan, ada beberapa persoalan serius terkait otonomi daerah. Pertama, posisi tawar daerah tidak sama berhadapan dengan pusat. Kedua, semakin banyak daerah meminta otonomi khusus melemahkan kekuasaan negara sheingga menjadi negara lemah atau gagal. Ketiga, ketidakpuasan terhadap gagasan otonomi daerah akan menjadi ancaman kepada lahirnya negara federal. Terakhir, Persoalan-persoalan anggaran dalam masa otoda (semenjak 2003). 

Logika otoda (Otonomi Dearah) dan Fragmentasi 
Logika dipahami sebagai bagaimana otoda ini dirasionalisasikan dalam konetsk zaman dan kondisi sosial politik yang ada.  Ada dua landasan teori ini, Jika kita berkiblat kepada Weber (1978) dalam Society and Economy yang membagi rasionalitas menjadi empat yaitu practical, theoritical, subtantive, dan formal, maka secara theoritis kita sudah mafhum apa yang dimaui oleh otonomi daerah ini, begitu juga secara formal--sebagai seremonial demokrasi kita sudah bergerak dibarisan depan. Namun secara subtansi dan praktik, otoda memang masih mendapatkan raport merah. Pilihannya bisa mengulang pelajaran, sudah diterima sebagai target minimalis, atau mengganti dengan yang baru.

Lebih sederhana lagi adalah konsep Weber yang membagi rasionalitas menjadi dua besar yaitu rasionalitas instrumental dan rasionalitas nilai. Rasionalitas instrumental membenarkan segala macam cara untuk mencapai tujuan tertentu, sebagaimana bekerjanya otoda seringkali sekedar dipersempit sebagai strategi politik pusat untuk meredam kebrutalan daerah dari pada usaha berbagai kesejahteraan, cita-cita mendekatkan pemerintah dengan rakyat hanya isapan jempol manakalah otoda dengan pemilukada langsung hanya menghasilkan 'raja-raja' kecil yang hanya meng-copy paste gaya kepemimpinan konvensional elit pusat.

Bukti bekerjanya rasionalitas instrumental ini adalah banyaknya money politik, korupsi, dan informal government/gengster di level daerah semenjak diterapkannya desentralisasi (Hadiz 2010,2009; Choi 2009). Jadi, seringkali otoda ini menjadi bagian masalah ketimbang solusi akibat pusat daerah menjadi dua pihak yang berkontestasi memperebutkan sumber kekuasaan ekonomi politik yang ditungangi banyak aktor lama dan baru berkonsolidasi. Rakyat pun terus menjadi korban. Sementara rasionalitas nilai harus memberikan landasan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, sejarah, dan aspek-aspek kebuadayaan setempat dalam mengimplementasikan atau merencanakan tata kelola pemerintahan, hubungan kekuasaan dan kewenangan. 

Tentang landasan hukum otoda. Berdasarkan UU no 22 1999, UU 32, 2004,  dan aturan pelengkapnya, maka otonomi ini berbasis pada daerah tingkat dua yaitu kabupaten dan kota sehingga di level propinsi tidak memunculkan kekuatan politik yang kuat berhadapan dengan pusat. Gubernur sebenarnya kehilangan relevansinya untuk dipilih langsung karena itu bukan level otonomi dan hanya perpanjangan tangan pemerintah pusat sebagaimana level kecamaatan sebagai penghubung saja (jalur birokrasi). Kalau di level desa-desa di kota saya kira tidak perlu lagi kecamatan sehingga birokrasi bisa dipangkas, begitu juga gubenur tidak perlu ada lagi. Selain hemat biaya juga menjadikan rakyat semakin dekat dengan pemerintahan.

Setidaknya memang masih ada beberapa kelompok yang berbeda mengenai otonomi ini. Setidaknya secara sederhana ada tiga kelompok besar. Pertama, kelompok yang menekankan kepada otonomi yang 100 persen berbasis daerah tingkat 2 dengan tanpa mentolerir adanya ststus istimewa atau apa yang disebut desentralisasi asimetris seperti Papua, NAD, DKI, dan Yogyakarta. Kedua, kelompok yang ingin lebih fleksibel mengenai basis subjek otonomi yaitu dapat berbasis daerah tingkat 1 atau 2, bahkan otonomi di level desa. Kelompok ini memang harus menemukan logika-logika yang dapat menjustifikasi atau melegitimasi status istimewa/khusus.

Kelompok ketiga adalah barisan nasionalis yang ingin otonomi daerah ini agar tidak membahayakan konsep NKRI. Partai-partai nasioanlis dan tokoh-tokohnya masih mempunyai pengaruh kuat untuk tetap mempertahankan kekuasaan dilevel pusat sebagai kontrol terhadap gerakan-gerakan separatis. Kelompok-kelompok disini sangat khawatir terhadap upaya-upaya gerakan otonomi khusus seperti yang muncul di Jogja akhir-akhir ini, Papua, dan Aceh yang sudah relatif damai. Kelompok terakhir, adalah kelompok yang mempunyai mimpi negara federal dimana otonaomi sekarang ini akan menuju muara negara federal. Basis dukungan ini ada dalam penganut Bung Hatta, Amien Rais, dan lainnya yang memang harus berhadapan dengan kubu nasionalis. Wajar saja, banyaknya kelompok ini hanya membeirkan konstribusi kepada semunya otonomi daerah (Erzast Outonomy) di Indonesia dengan teknik buka tutup, menambah dan membatasi wewenang daerah. 

Aliran dana yang besar untuk pembiayaan otonomi dan pemekaran wilayah ini jelas merupakan posisi yang menguntungkan kedua belah pihak aktor baik yang di daerah atau di pusat bahkan kelompok kajian-kajian yang berbasis universotas pun ikut menikmati kucuran miliaran atau bahkan trilyunan rupiah project "penjagaan" NKRI dan janji kesejehteraan untuk semua sebagaimana amanah konstitusi dan UU otonomi daerah. Pragmatisme yang disebut money driven autonomy atau yang kata pakar kebijakan publik dari UH Manoa Ismi Farahnaz (2011) sebagai fenomena money follow autonomy yang menjadikan sulit keluar dari lingkaran setan. Saya kira lingkaran setan ini menjadi parah akibat sistem politik yang diinstall terburu-buru yaitu pemilukada langsung yang menghasilkan free competition dan tentu saja pemilik kapital yang paling berkuasa--semua bisa dibeli termasuk suara rakyat suara tuhan juga tidak bebas dari jangkaun kapitalis!

Logika kompromi politik ini akan menyulitkan di kemudian hari akibat kemampuan dan potensi daerah beragam sementara tuntutan berbagi kesejahteraan semakin kuat. belum lama ini beberapa daerah di Aceh mengalami defisit mengurus daerah akibat terlalu banyak biaya birokrasi, operasional, dan sementara DAK dan DAU terbatas dan sudah terkena dampak korupsi sistemik. Jika logika otonomi tidak diubah dan kekhasan identitas tidak diwadahi maka perlawanan terhadap pusat, ketidakpuasan pembangunan akan terus muncul sampai kepada situasi yang terus mengancam eksistensi NKRI dan dengan kepahitan akhirnya harus menempuh jalan kompromi berikutnya: Federalisme!. 

Federalisme, Bagian solusi atau Masalah?
Baik otonomi luas, khusus, otonomi biasa (gak pakek telur) dan federalisme mempunyai dampak logis mengenai 'melemahnya' posisi tawar pemerintah pusat dimata rakyat. Situasi ini tidak banyak disukai karena tendensi penguasa transisi pasca rejim otoriter yang ingin menjaga dan memelihara bahkan memperbesar kekuasaanya. Maka yang terjadi adalah pemerintah pusat berkolaborasi dengan gubernur untuk menjaga kewenangan dan kuasa yang luas dengan memberikan kelonggoaran daerah dan pembatasan dalam waktu yang sama. Boleh melakukan apa saja asal tidak mengganggu kepentingan pusat. Kepentingan pusat dan daerah adalah kepentingan yang dikontestasikan dan diperebutkan alias tidak netral. Kepentingan pusat artinya bagaimana the rulling elite atau rulling partu teteap berkuasa sampai betas waktu selama mungkin. sedangkan apa kepentingan daerah adalah bagaimana elite lokal memanipulasi mimpinya menjadi mimpi bersama orang lokal dan dijustifikasi dengan berbagai rasionalitasnya. 

Federalisme, tentu perlu dikaji dan dipahami sebagai satu sistem yang mempunyai peluang, tantangan, dan persoalan serius manakalah fanatisme NKRI masih dipelihara kuat oleh negara melalui berbagai institusi, lembaga, dan bentuk-bentuk soft hegemony. Sebagai sistem yang pernah diberlakukan di Indonesia dan sukses di Malaysia (tetangga) ke depan gagasan federalisme ini akan tetap muncul terlebih resesi ekonomi terus memburuk, masalah korupsi dan penegakan hukum yang buruk akan diikuti public distrust yang akan menemukan momentum untuk melawan keadaan dengan cara-cara yang mungkin bagi rakyat/daerah. 

Oct 30, 2011


references
http://people.uncw.edu/ricej/SOC490/Max%20Webers%20Types%20of%20Rationality%20by%20Steven%20Kalberg.pdf
http://en.wikipedia.org/wiki/Rationality
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU_32_2004_Pemerintahan%20Daerah.pdf
http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-22-1999.pdf

No comments:

Post a Comment