David Efendi
Ketika projek
otonomi daerah gagal, projet federalisasi mulai?
Terlintas ingin
mendiskusikan perihal 'otonomi' setelah sekian lama saya mencoba absen dari apa
yang disebut oleh profesor saya, Ben Kervliet sebagai official politics atau
conventional politic yang berurusan dengan birokrasi, tata pemerintahan, dan
berbagai piranti hukum yang dibuat. Politik konvensional selain an sich politik
formal adalah juga bentuk-bentuk politik advokasi sementara everyday politics
menempati kategori ketiga yang seirng luput dari perhatian publik secara luas
(Kervliet 2010). Karena itu saya, selain berguru dengan James Scott mengenai
Hidden trancript, every resistance, dan moral economy, saya juga senang nyantri
secara private dengan profesor Ben Kervliet untuk kitab politik keseharian.
Kategori ilmu ini mungkin bisa dikatakan sebagai antropologi politik. Pak Ben
kedua setelah Ben Anderson ini sudah pensiun ketika saya masuk University of
Hawaii, jadi sementara private menjadi pilihan baik secara online atau in
person.
Otonomi memang
menjadi kajian besar dalam dunia akademik, terutama setelah keruntuhan orde
baru secara 'mendadak' dan disambut gegap gempita eforia demokrasi dan
kebebasan. Di timur-timor menuntut merdeka, OPM bergerak, di Aceh GAM atau AGAM
bergolak dengan melibatkan aktor internasional (Aspinal 2009:2), di beberapa
daerah konflik mematikan berlansung, dan juga ancaman konflik horizontal.
Bangsa yang habis sedang bergerak entah dimaknai sebagai konsolidasi atau
anarki. Ujungnya Aceh dan Papua mendapatkan keistimewaan dan privilage
tersendiri. Selain untuk meredam terjadinya kasus Timtim merdeka, ini adalah
bentuk dari politisasi "otonomi" yang seringkali kehilangan substansi
dan karakter otonomi itu sendiri. Sebagai tanbahan, ada beberapa persoalan
serius terkait otonomi daerah. Pertama, posisi tawar daerah tidak sama
berhadapan dengan pusat. Kedua, semakin banyak daerah meminta otonomi khusus
melemahkan kekuasaan negara sheingga menjadi negara lemah atau gagal. Ketiga,
ketidakpuasan terhadap gagasan otonomi daerah akan menjadi ancaman kepada
lahirnya negara federal. Terakhir, Persoalan-persoalan anggaran dalam masa
otoda (semenjak 2003).
Logika otoda
(Otonomi Dearah) dan Fragmentasi
Logika dipahami
sebagai bagaimana otoda ini dirasionalisasikan dalam konetsk zaman dan kondisi
sosial politik yang ada. Ada dua landasan teori ini, Jika kita berkiblat
kepada Weber (1978) dalam Society and Economy yang membagi rasionalitas
menjadi empat yaitu practical, theoritical, subtantive, dan formal, maka secara
theoritis kita sudah mafhum apa yang dimaui oleh otonomi daerah ini, begitu
juga secara formal--sebagai seremonial demokrasi kita sudah bergerak dibarisan
depan. Namun secara subtansi dan praktik, otoda memang masih mendapatkan raport
merah. Pilihannya bisa mengulang pelajaran, sudah diterima sebagai target
minimalis, atau mengganti dengan yang baru.
Lebih sederhana
lagi adalah konsep Weber yang membagi rasionalitas menjadi dua besar yaitu
rasionalitas instrumental dan rasionalitas nilai. Rasionalitas instrumental
membenarkan segala macam cara untuk mencapai tujuan tertentu, sebagaimana
bekerjanya otoda seringkali sekedar dipersempit sebagai strategi politik pusat
untuk meredam kebrutalan daerah dari pada usaha berbagai kesejahteraan,
cita-cita mendekatkan pemerintah dengan rakyat hanya isapan jempol manakalah
otoda dengan pemilukada langsung hanya menghasilkan 'raja-raja' kecil yang
hanya meng-copy paste gaya kepemimpinan konvensional elit pusat.
Bukti bekerjanya
rasionalitas instrumental ini adalah banyaknya money politik, korupsi, dan
informal government/gengster di level daerah semenjak diterapkannya
desentralisasi (Hadiz 2010,2009; Choi 2009). Jadi, seringkali otoda ini menjadi
bagian masalah ketimbang solusi akibat pusat daerah menjadi dua pihak yang
berkontestasi memperebutkan sumber kekuasaan ekonomi politik yang ditungangi
banyak aktor lama dan baru berkonsolidasi. Rakyat pun terus menjadi
korban. Sementara rasionalitas nilai harus memberikan landasan nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan, sejarah, dan aspek-aspek kebuadayaan setempat dalam
mengimplementasikan atau merencanakan tata kelola pemerintahan, hubungan
kekuasaan dan kewenangan.
Tentang landasan
hukum otoda. Berdasarkan UU no 22 1999, UU 32, 2004, dan aturan
pelengkapnya, maka otonomi ini berbasis pada daerah tingkat dua yaitu kabupaten
dan kota sehingga di level propinsi tidak memunculkan kekuatan politik yang
kuat berhadapan dengan pusat. Gubernur sebenarnya kehilangan relevansinya untuk
dipilih langsung karena itu bukan level otonomi dan hanya perpanjangan tangan
pemerintah pusat sebagaimana level kecamaatan sebagai penghubung saja (jalur
birokrasi). Kalau di level desa-desa di kota saya kira tidak perlu lagi
kecamatan sehingga birokrasi bisa dipangkas, begitu juga gubenur tidak perlu
ada lagi. Selain hemat biaya juga menjadikan rakyat semakin dekat dengan
pemerintahan.
Setidaknya
memang masih ada beberapa kelompok yang berbeda mengenai otonomi ini. Setidaknya
secara sederhana ada tiga kelompok besar. Pertama, kelompok yang menekankan
kepada otonomi yang 100 persen berbasis daerah tingkat 2 dengan tanpa
mentolerir adanya ststus istimewa atau apa yang disebut desentralisasi
asimetris seperti Papua, NAD, DKI, dan Yogyakarta. Kedua, kelompok yang ingin
lebih fleksibel mengenai basis subjek otonomi yaitu dapat berbasis daerah
tingkat 1 atau 2, bahkan otonomi di level desa. Kelompok ini memang harus
menemukan logika-logika yang dapat menjustifikasi atau melegitimasi status
istimewa/khusus.
Kelompok ketiga
adalah barisan nasionalis yang ingin otonomi daerah ini agar tidak membahayakan
konsep NKRI. Partai-partai nasioanlis dan tokoh-tokohnya masih mempunyai
pengaruh kuat untuk tetap mempertahankan kekuasaan dilevel pusat sebagai
kontrol terhadap gerakan-gerakan separatis. Kelompok-kelompok disini sangat
khawatir terhadap upaya-upaya gerakan otonomi khusus seperti yang muncul di
Jogja akhir-akhir ini, Papua, dan Aceh yang sudah relatif damai. Kelompok
terakhir, adalah kelompok yang mempunyai mimpi negara federal dimana otonaomi
sekarang ini akan menuju muara negara federal. Basis dukungan ini ada dalam
penganut Bung Hatta, Amien Rais, dan lainnya yang memang harus berhadapan
dengan kubu nasionalis. Wajar saja, banyaknya kelompok ini hanya membeirkan
konstribusi kepada semunya otonomi daerah (Erzast Outonomy) di Indonesia dengan
teknik buka tutup, menambah dan membatasi wewenang daerah.
Aliran dana yang
besar untuk pembiayaan otonomi dan pemekaran wilayah ini jelas merupakan posisi
yang menguntungkan kedua belah pihak aktor baik yang di daerah atau di pusat
bahkan kelompok kajian-kajian yang berbasis universotas pun ikut menikmati
kucuran miliaran atau bahkan trilyunan rupiah project "penjagaan"
NKRI dan janji kesejehteraan untuk semua sebagaimana amanah konstitusi dan UU
otonomi daerah. Pragmatisme yang disebut money driven autonomy atau yang kata
pakar kebijakan publik dari UH Manoa Ismi Farahnaz (2011) sebagai fenomena
money follow autonomy yang menjadikan sulit keluar dari lingkaran setan. Saya
kira lingkaran setan ini menjadi parah akibat sistem politik yang diinstall
terburu-buru yaitu pemilukada langsung yang menghasilkan free competition dan
tentu saja pemilik kapital yang paling berkuasa--semua bisa dibeli termasuk
suara rakyat suara tuhan juga tidak bebas dari jangkaun kapitalis!
Logika kompromi
politik ini akan menyulitkan di kemudian hari akibat kemampuan dan potensi
daerah beragam sementara tuntutan berbagi kesejahteraan semakin kuat. belum
lama ini beberapa daerah di Aceh mengalami defisit mengurus daerah akibat
terlalu banyak biaya birokrasi, operasional, dan sementara DAK dan DAU terbatas
dan sudah terkena dampak korupsi sistemik. Jika logika otonomi tidak diubah dan
kekhasan identitas tidak diwadahi maka perlawanan terhadap pusat, ketidakpuasan
pembangunan akan terus muncul sampai kepada situasi yang terus mengancam
eksistensi NKRI dan dengan kepahitan akhirnya harus menempuh jalan kompromi
berikutnya: Federalisme!.
Federalisme,
Bagian solusi atau Masalah?
Baik otonomi
luas, khusus, otonomi biasa (gak pakek telur) dan federalisme mempunyai dampak
logis mengenai 'melemahnya' posisi tawar pemerintah pusat dimata rakyat. Situasi
ini tidak banyak disukai karena tendensi penguasa transisi pasca rejim otoriter
yang ingin menjaga dan memelihara bahkan memperbesar kekuasaanya. Maka yang
terjadi adalah pemerintah pusat berkolaborasi dengan gubernur untuk menjaga
kewenangan dan kuasa yang luas dengan memberikan kelonggoaran daerah dan
pembatasan dalam waktu yang sama. Boleh melakukan apa saja asal tidak
mengganggu kepentingan pusat. Kepentingan pusat dan daerah adalah kepentingan
yang dikontestasikan dan diperebutkan alias tidak netral. Kepentingan pusat
artinya bagaimana the rulling elite atau rulling partu teteap berkuasa sampai
betas waktu selama mungkin. sedangkan apa kepentingan daerah adalah bagaimana
elite lokal memanipulasi mimpinya menjadi mimpi bersama orang lokal dan dijustifikasi
dengan berbagai rasionalitasnya.
Federalisme,
tentu perlu dikaji dan dipahami sebagai satu sistem yang mempunyai peluang,
tantangan, dan persoalan serius manakalah fanatisme NKRI masih dipelihara kuat
oleh negara melalui berbagai institusi, lembaga, dan bentuk-bentuk soft
hegemony. Sebagai sistem yang pernah diberlakukan di Indonesia dan sukses di
Malaysia (tetangga) ke depan gagasan federalisme ini akan tetap muncul terlebih
resesi ekonomi terus memburuk, masalah korupsi dan penegakan hukum yang buruk
akan diikuti public distrust yang akan menemukan momentum untuk melawan keadaan
dengan cara-cara yang mungkin bagi rakyat/daerah.
Oct 30, 2011
references
http://people.uncw.edu/ricej/SOC490/Max%20Webers%20Types%20of%20Rationality%20by%20Steven%20Kalberg.pdf
http://en.wikipedia.org/wiki/Rationality
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU_32_2004_Pemerintahan%20Daerah.pdf
http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-22-1999.pdf
No comments:
Post a Comment