Thursday, March 8, 2012

Dua Benua, Dua Diktator dan Satu "Ethnograper"


David "Dave" Efendi

Kita adalah 99% dari anak bangsa yang BELUM kehilangan akal waras dan budi mulia. Kita adalah anak bangsa banyaknya 99% yang masih percaya akan keberadaan KPK memusuhi Iblis dan setan koruptor. Kita adalah 99% dari masa depan bangsa. Hanya 1% yang anti KPK itu bukan bangsa putih, itu dragula yang jumlahnya tak seberapa. Hanya 1% yang sedang melawan kebenaran. mahluk 1% itu tidak sulit kita binasakan hanya mereka bertuhan uang dan bernabi koruptor. Partai apakah ini? Mari kita hancurbinasakan dengan jalan yang damai!" (Status FB 3 Okt/11).


Dua benua artinya memposisikan saya yang sedang tinggal dibagian terororial Amerika dan berasal dari salah satu kota di Indonesia di salah satu negara di kawasan benua Asia. Facebooker merupakan penamaan tersendiri pada orang yang suka menggunakan facebook untuk berbagai kepentingan. termasuk untuk meneriakkan komplain, revolusi, atau sekedar menulis untuk menghibur diri sendiri.  Pada kesempatan ini saya mencoba mendiskripsikan dua kejadian penting di belahan dua benua ini.


Pertama, gerakan anti wall street di seluruh Amerika dan negara-negara lain yang simpatik. Kedua, adalah gerakan mendukung KPK di Indonesia. 

Diktator adalah musuh setiap manusia, musuh zaman kebebasan. Di dunia global diktator itu adalah sektor ekonomi fiktif yang berpusat di Wall Street (kini sedang menuju proses keruntuhan di USA), dan di Indonesia kita tahu diktator yang masih invisible alias sembunyi adalah regim korup yang sedang bersatu padu menyelamatkan diri dan memusuhi KPK. Kedua diktator itu adalah musuh nyata, hanya pandangan kita terbatas dan masih ragu untuk melangkah. Mahasiswa bersatulah?! kaum pekerja seluruh dunia berseruhlah! Para jurnalis, facebooker, penggemar tweeter bersatulah dan turunlah juga ke jalan tembak diktator tepat di jantung dan kepalanya.

"OCCUPY TOGETHER" WALL STREET
Saya mencoba menjadi seorang ethnographer online. Saya merasakan dua gerakan ini terjadi dalam waktu relatif sama kira-kira dua pekan terakhir ini. Kedua kasus, saya tidak langsung berpartisipasi dalam aksi lapangan namun saya benar-benar terlibat dalam suasana kebathinan yang sangat kuat. Saya mengikuti beberapa tweeter tentang gerakan menguasasi Wall street ini dan saya juga tergabung dalam beberapa FB terkait serta memberikan koment-komen dalam tweeter berisi dukungan kepada mereka. 

Dalam berbagai blog, web, FB, tweeter, dan life streaming radio dan video terkait gerakan occupy WS nampak sangat militan dan menjalar dilakukan diberbagai negara bagian dan kota. Infrastuktur berupa teknologi internet luar biasa didayagunakan untuk mensupport aksi jalanan dan lapangan. Bahkan, berbegai FB dan blog menginformasikan kontak lawyer agar ketika brhadapan dengan agen negara dapat mengajukan pembelaan. Pasti, semua orang sam dimata hukum, protes adalah hak asasi bagian dari freedom. Walau demikian, nampak polisi federal atau negara bagian mulai kisruh alias kehilangan kesabaran. Seorang teman sekelas saya, orang Amerika Corp namanya memberitahukan saya tadi dikelas. Polisi atau agen rahasis dibayar jutaan dollar untuk mengamankan demonstran. Wajar saja polisi menjadi angkuh dan tidak ramah (tidak sepeerti biasa). Dalam teori rational choice, polisi atau agen keamanan tidak berada dijalan yang keliru. Mereka juga punya masa depan, jika situasi tidak menguntungkan atau penuh ketidakpastian mereka akan mengambil jalan untuk memilih mana yang paling banyak mendapatkan keuntungan. Keuntungan material, kini, adalah paling prioritas.

Diktator yang dikonstrucsikan adlaha analogi dari keruntuhan diktator di Middle east, semantara dikatator di Amerika adalah rejim Wall Street sebagai spekulan raksasa menganai angka-angka ekonomi yang selama ini penuh manipulasi dan ketidakadilan. Dari WS ini negara miskin diperas, kebijakan bobrok dipaksakan di negara-negara kurang maju. Sebenarnya kita semua (negara Indonesia-pen), bisa menolak US Dollar, dan akan kita saksikan keruntuhan negara nenek moyang kapitalis ini.


DUKUNG KPK (dan ANTI KPK)

"Saya harus menyampaikan dengan nada keras "Partai Keadilan Sejahtera, untuk menyebut oknum, sedang menjadi pahlawan bagi koruptor, menyatupadukan gerak melawan KPK, tentu sponsornya banyak untuk bekal pemilu 2014 walau PKS harus menempuh jalan NERAKA yang penting bisa mengamankan surga dunia-nya. Jika demikian, PKS memang layak disebut Partai Koncone Setan"

Indonesia memang negara yang agak sulit untuk melakukan perubahan secara mendasar lantaran kendala geografi, etnis, dan ideology yang terlalu beragam. Selain itu, alphanya pemimpin yang dapat diterima secara luas menjadi 'solidarity maker' sebagimanap peran yang pernah dampuh oleh Sukarno atau para pemberontak lainnya seperti Pangeran Diponegoro, Kahar Mudzakkar, Tan Malaka, dan sebagainya. Tokoh karismatik yang sedang berjaya sering lupa dan malah bunuh diri akan kekuatannya sendiri dengan menjadi sektarian atau politisi. Guru bangsa, kini, pun tidak bisa lebih bergerak selain seruan moral dan perdebatan di media. Menjadi rakyat Indonesia memang capek, tenaga dikuras oleh elit penguasa dan pejabatnya. 

Taruhlah contoh, berbagai laporan pemberantasan korupsi. Uang 500 juta kayak seribu rupiah, uang 500 miliar kayak seharga lima ribu, dan 6 trilyun bukanlah persoalan besar di Jakarta. Kita tahu, para pedagang asongan, petani kecil itu di desa-desa, untuk mendapatkan 5 ribu saja mereka sudah kering keringatnya. Para penguasa di negeri ini betul-betul menyakiti nurani rakyat. Tidak hanya sehari dua hari, sepanjang hidup mereka. 

Ketika belahan dunia Arab terjadi revolusi atau gelombang demokratisasi keempat, semua ingin menjadi lebih baik Indonesia nampak sibuk berwacana soal pemberantasan korupsi dan semua hanya lips service. Tidak presidennya tidak menteri dan angota DPR-nya. Ketika kelompok massa di Amerika, serius mencari biang kerok krisis global dan pemiskiinan global serta memburuknya keadaan planet bumi lalu ketemulah WALL STREET sebagai 'iblis'-nya, kita tengok di Indonesia, anggota DPR, menteri, dan para koruptor menggalang kekuatan untuk menyerang KPK karena dianggap teroris bagi koruptor. Betul sekali, KPK menjadi teroris tetapi untuk kebaikan bangsa secara jangka panjang. Hanya saja, rakyat tidak tahu apa keuntungan mendukung KPK? apa keuntungan mengutuk koruptor? apa keuntungan demonstrasi atau terlibat aksi jalanan? Mereka punya rasionalitas, berdasarkan alam pikir dan pengetahuan serta pengalaman masing-masing.

Di Amerika ada gerakan boycott WS, ada aksi jalanan, aksi di media online dan seterusnya masif diberbagai negara bagian baik melalui mass protest atau wacana online. Di Indonesia, walau nyata persoalan dan spesifik bahwa korupsi adalah biang kerok dari kebobrokan bangsa tetapi tidak banyak yang menyuarakan lantasan sistematikanya korupsi ini dilakukan. Tidak hanya presiden dan menterinya, anggota DPR/D dan DRPRD dan partainya serta pelaku pengusaha busuk. Mereka berbagai uang jarahan, bahkan ustadz, kyai, dan guru pun dibagi uang subhat alias tidak jelas itu. Bagaimana gerakan sosial bisa berjalan? Kendala bukanlah dari sang diktator musuh tetapi internal juga mengalami pembusukan luar biasa. Kita tengok, Ormas mana yang serius melawan korupsi? serius mendukung KPK? semua yang ada mencari selamat. 

Bagus untuk dicatat, liberalisasi politik yang menjalar dengan kencang di Indonesia sudah mampu mengubah kubu-kubu konservatif dalam ideologi menjadi super kapitalis dan oportunis-pragmatis dalam pilihan politiknya. Partai keadilan Sejahtera(PKS) sebagai partai "keluaran surga", awalnya baunya harum dan mengundang simpati publik kini kita tahu nalar berfikirnya lebih liberal dan anti-agama dibanding partai sekuler. PKS mau mengorbankan diri menjadi bemper gerakan anti KPK atau menolak kewenangan KPK untuk merasuk dalam upaya pembersihan sarang tikus di DPR atau senayan. Petanya jelas, mumpung KPK belum masuk istana maka harus dihadang di senayan dulu. PKS, dan elemen-elemen kecil msayarakat layaknya jongos atau tumbal yang dikorbankan oleh korporatokrasi koruptor yang sudah menggurita. Semakin menggurita semakin sulit ditembus. Hal ini sudah diingatkan oleh George Junus Adicondro dalam bukunya Gurita cikeas (2010) dan cikeas kian menggurita (2011).

Situasi demikian sulit melahirkan pahlawan yang bisa memusuhi diktator uang dan diktator raja (penguasa) semisal gandhi atau Anna Hazare di India yang dengan damai malawan korupsi namun bisa menggerakkan jiwa dan nurani orang India di pelosok sekalipun. Karismanya alamiah, muncul sebagai reflekasi kemanusiaan dan kesatuan budi dengan alam, dan manusia pada umumnya dimana setiap manusia berhak mendapati mimpinya tergapai, nafkah lahir dan bathinnya terpenuhi. Dan dalam hal ini, korupsi adalam proponen atau antagnis dari segala kebaikan budi manusia. Karena itu Anna Hazare puasa selama seminggu untuk menentang koruptor dengan jalan sunyi berbekal pemahaman agama dan kemanusiaan yang tinggi. Di Indonesia, seruan moral tokoh lintas agama tidak membekas, goncongan KPK justru mendapat perlawanan balik dari koruptor dan anteknya (the corruptor fight back). Pasti ada yang salah dalam masyarakat, dalam sistem yang sedang dan telah dirusak penguasa liberal (segala cara halal untuk menaklukkan massa).

Artinya apa? saya harus mengatakan ironisme yang luas biasa pasca reformasi. Banyak orang mengklaim eksponen reformasi 1998 tetapi tingkah pola korupnya melebihi kelompok yang memang profesinya sebagai koruptor. Sebagaimana peringatan Buya Syafii Maarif, ketika politik sudah menjadi mata pencaharian lalu hukum halal haram dan baik buruk cukup menjadi urusan bidang agama dan alim ulama saja. Di arena politik, suara tuhan adalah suara uang (terutama di badan anggaran). KPK adalah satu-satunya harapan. Walau presiden bisu terkait isu mendasar ini, kita masih bsia berharap ke KPK apa pun alasannya termasuk jika benar pak Beye mundur dari urusan pemberantasan korupsi kita akan menjadi saksi sejarah bahwa 99% rakyat kita masih waras (baca petikan status fb diatas). Jika harapan reformasi dan pemberantsan korupsi tidak ada lagi, lalu mau kemana bangsa ini dikuburkan? kalau tanah kuburan saja sudah menjadi target koruptor?!

No comments:

Post a Comment