David Efendi
Banyak hal
telah menjadi bahan bakar yang menggiring kita pada suatu kesimpulan bahwa ilmu
pengetahuan pada umumnya terjadi involusi semenjak lebih dari dua dekade
terakhir. Hal ini pernah disinggung dengan nada yang sangat provokatif dan
sinis oleh ilmuwan yang bernama John Horgan (1997) dalam bukunya The End
Of Science: Facing The Limits Of Knowledge In The Twilight Of The Scientific
Age. Bukan hanya dalam temuan-temuan tekhnologi dan ilmu pengetahuan alam saja
namun juga di dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kita saksikan gejala ini
terjadi di berbagai negara di belahan dunia tidak memandang di belahan bumi
yang disebut negara pusat, peri-peri, kelas satu, dan kelas 2 dan seterusnya.
Temuan-temuan
revolusioner itu terjadi selama atau setelah revolusi industri (1750
-1850) dan revolusi politik (Perancis, 1789–1799) yang keduanya membuat
sistem dunia dan tata kelola pemerintahan berubah secara dramatis. Gejala
perubahan bentuk pasar/perdagangan, ideologi dan sistem pemerintahan dilahirkan
oleh masyarakat pada tahun-tahun itu. Setelah itu tidak ada lagi revolusi yang
dapat mengguncang keimanan masyarakat dunia. Jika ada temuan itu pada umumnya
sifatnya komplementer atau sekedar pelengkap sistem teori dan pengetahuan yang
sudah ada. Hal ini seolah membenarkan bahwa sejarah sudah berakhir, ideologi
sudah musnah, dan tata kelola pemerintahan sudah tidak ada lagi yang lebih baik
dari apa yang ada hari ini (warisan masa revolusi Perancis). Segala telah
berakhir. Dalam bahasa agama disebut sebagai ujung zaman menjelang Kiamat.
Namun proses itu tidak langsung terjadi namun ada periode-periode transisi yang
mungkin saja ini sedang terjadi.
Dalam tulisan
ini mencoba lebih fokus kepada bagaimana transisi atau yang disebut Thomas Khun
sebagai periode krisis setelah menjalani masa-masa normal dan akan menuju titik
normal yang baru. Namun gambaran siklus ini juga mengandung resiko untuk
membaca suatu sejarah yang menurut banyak ilmuwan tidak melulu linear karena
alam tempat manusia berpijak pun mengalami krisis, penuaan, dan kehancuran yang
tidak semua bisa kembali menjadi posisi normal lagi. Ilmu pengetahuan tidak
semuanya dapat menjalani siklus hidup yang abadi sebagaimana proses yang
digambarkan Khun. Bahkan orang seperti Fukuyama menklaim bahwa sejarah manusia
sudah berakhir dengan titik capaian puncak pada sistem ekonomi liberal dan tata
kelola pemerintahan demokrasi.
Demokrasi
bukanlah suatu sistem baru karya cipta zaman baru, tetapi sudah dilahirkan pada
508 sebelum masehi. Jadi kemenangan tata kelola pemerintahan hari ini adalah
kemanangan pemikir masa lalu. Tergusurnya sistem monarkhi absolut dan
diktatorship oleh demokrasi tidak serta merta akan mengalami krisis yang
panjang lalu memicu berdirinya kerajaan-kerajaan baru seperti masa lalu, namun
menimbulkan kerentanan hidup dalam cengkraman kerajaan ekonomi dunia yang dalam
batas tertentu imaginer. IMF dan Wold bank adalah kerajaan keuangan dunia yang
perannya tidak seperti stabilnya tata kelola kerajaan monarkhi absolut masa
lalu. Kerentanan ini tidak bisa menghalangi sedikitpun tata kehidupan yang
timpang, krisis, kemiskinan, dan sebagainya. Jadi, stabilitas yang terjadi
adalah semu. Di sinilah Khun tidak bisa menjelaskan arti stabilitas sebuah ilmu
(normal science) dalam kehidupan kontemporer.
Ilmu politik,
ilmu sosial yang mengalami perluasan cakupan bahkan dalam banyak kasus ilmu
politik sudah tidak lagi bisa berdiri sebagai ilmu tersendiri dan kembali
seperti masa lalu di mana ilmu politik tidak disekat dan diasingkan dari ilmu
lain. Pengetahuan yang spesialis nampaknya semakin hilang autentisitasnya
karena faktanya setiap ilmu bisa kawin dan beranak menjadi spesies baru yang
ambigu dan justru memicu krisis baru ditubuh ilmu pengetahuan. Sekat-sekat ilmu
ini adalah temuan zaman baru yang kurang mempunyai fondasi kuat seperti temuan
masa lalu. Ilmu politik dikenal belum lama tetapi ilmu negara dengan segala
piranti sosial budaya sudah melekat ribuan tahun. Kekuatan itu tidak mampu
ditolak oleh ilmuwan hari ini yang sekedar mempertahankan erbedaan ilmu politik
dengan ilmu sosial lainnya. Ilmu politik kini tidak hanya digunakan untuk
mempelajari negara tetapi juga mengarah pada diskursus bahasa, simbul,
kebuadayaan, lide style yang juga dipolitisasi oleh negara dalam rangka
mempertahankan kekuasaannya.
Disinilah ilmu
politik kemudian dianggap kehilangan jenis kelaminnya, Seorang teman ilmu
politik mengalami disorientasi kajiannya. Tetapi beberapa kelompok justru ini
adalah kemenangan ilmu politik untuk mengembangkan kajian barunya. Pergeseran
kajian ini juga saya alami ketika saya merasa jenuh dengan kajian lembaga
negara dalam ilmu politik. Lalu saya menemukan kajian everyday politik,
grassroot politics, politik antropology, atau penelitiaan politik dengan
pendekatan ethnografi. Di UGm disinyalir oleh seorang dosen bahwa terjadi
pergeseran minat dari formal politik ke arah informal politik (daily politics).
Tentu kita masih bertanya, pergerseran ini sebagai suatu yang positif atau
negatif. Tetapi dapat dipastikan bahwa pergeseran ini tidak akan mampu
mengungguli temuan-temuan ilmuwan masa lalu yang sangat legendaris seperti
teori demokrasi dan tata negara yang dipengaruhi oleh nuansa filsafat yang
kental.
Wajar saja,
beberapa orang mengatakan sinis tentang ilmu politik karena ilmuwan politik
kini memasuki ruang-ruang kampung dan kelompok pedalaman yang selama ini
dikapling oleh antropologi. Expansi ilmu politik ini meresahkan ketika hasil
kajian politik dari lapangan menjadi lebih dipertimbangkan oleh negara
ketimbang hasil riset antropolog. Diskusi ini sebagain sudah muncul. Namun
pointnya adalah apakah ilmu politik mengalami kegalauan, keresehan, kejenuhan,
keberakhiran dengan kajian aslinya sehingga harus mengambil kajian disiplin
ilmu lain. Gerakan sosial selama ini seperti menjadi hak paten sosiologi kini
tidak lagi dapat dimonopolinya. Ilmu politik dapat menggunakan Political
opportunity structure(POS) untuk memahami fenomena gerakan protes masyarakat.
Di sisi lain, banyak kajian juga mengambil metode cara pikir ilmu politik untuk
memahami permasalahan sosial seperti lingusitik, kajian regional, sosiologi,
dan sebagainya.
Di kampus
saya, University of Hawaii at Manoa, nampaknya ilmu politik mempunyai faksi
beragam ada yang menekankan pada kajian lokal, kultural, dan global. Minat yang
beragam diantara pengajar menjadikan departemen ini mengeluarkan kegiatan
akademik yang disebut local-global colloqium yang diadakan setiap mingguan
dengan diversifikasi topik yang lintas batas disiplin ilmu seperti urban
planning, asean studies, public policy, sosial movement, indigenious politics,
globalisasi, dan seterusnya. Beberapa dosen/profesor pengajar juga bisa
bergabung lebih dari satu jurusan untuk mengajar. Di sini saya merasa ilmu
politik sudah membaur dan bourderless dengan jenis ilmu lain. Di sudut pikiran
lainnya aku merasa ini adalah situasi krisis, involusi ilmu politik dimana
sekian puluh tahun tidak menelurkan gagasan baru apa pun dalam penyelesaian
persoalan tata kelola pemerintahan. Padahal, demokrasi sudah banyak dikritik,
dilabeli gagal, dan seterusnya karena kegagalan itu pasti mempunyai dasar
karena demokrasi apapun jenisnya--liberal, konsosiasional, konstitutional, akan
mengalami keterbatasan karena kata itu sendiri lahir dari komunitas negara kota
(polis) yang sangat kecil.
Baik ilmu
politik di Amerika atau Ilmu Pemerintahan di Eropa nampaknya keduanya mengalami
situasi krisis yang serius atau dengan kata lain jalan ditempat (involusi).
Kajian birokrasi mandeg di Eropa dan negara-negara bekas jajahannya. Kajian
birokrasi dan organisasi pemerintahan tidak ada yang baru. Di mana-mana lembaga
negara komposisinya sama atau serupa. Inovasi birokrasi ala Amarika yang
diprakarsai Ted Gebler dan David Osborne 'gagal' dilaksanakan di Amerika.
Banyak orang sepakat birokrasi Amerika bobrok luar biasa sehingga banyak
kelompok emnolak sistem birokrasi dan peran negara. Ilmu politik di Amerika,
hanya mengkopi model polling dan survey ala psikologi atau economic preference
untuk memahami perilaku memelih masyarakat dalam pemilu yang hanya dan hanya
berakhir pada industrialisasi lembaga polling atau penelitian yang tidak lain
dna tidak bukan adalah persoalan politik as bisnis as usual. Lahirnya fenomena
survey politik tidak banyak mengubah keadaan selain perang spkulasi dan asumsi
kenapa seorang kandidat menang dan kenapa yang lainnya kalah. ALiran uang lebih
penting dalam bisnis ini sehinga subtansi pemilu juag semakin hilang. Hilang
karena bukan hanya antusias ublik ettapi lembaga-lembaga survey sebagai
industri baru telah menggeser keimanan publik akan inti sari demokrasi menjadi
angka-angka manipulatif.
Ada dua
istilah yang dianggap sangat baru adalah munculnya terminologi "global
governance" dan "global democracy" dalam tata kelola negara dan hubungan antar
negara. Namun kenyataannya dua terminologi itu justru menjebak para ilmuwan
politik untuk menjadi subordinat dari globalisasi kapital dan korporasi global
untuk memperebutkan sumber daya ekonomi dengan menggunakan kendaraan politik
yaitu sistem pemerintahan yang lebih terbuka (demokrasi) dan sistem
penyeragaman institusi pemerintahan secara umum. Ini juga menjaidkan ilmu
ekonomi semakin asik berpoligami dengan ilmu ekonomi dalam madzab neoliberal. Istilah "Global democracy" dan "globalized governance" tidak lain dan tidak bukan adalah
alat kapitalis dunia untuk menaklukan dan menguasai sumber ekonomi. Inilah persekongkolan gila antara kapitalisme, globalisme dengan politik dimana situasi ini juga menyuburkan tragedi pengkhianatan intelektual ilmu politik.
Ketika ilmu
politik krisis, dalam perspektif saya yang sangat terbatas disiplin ilmu lain
pun akan mengalami hal yang sama terkait misalnya pengelolaan tata kelola
ekonomi sebuah negara. Di Yunani, asal muasal kata demokrasi, sendiri mengalami
situasi sulit dalam pengelolaan ekonomi yang mana sudah menjadi bagian dari
persatuan Eropa (european union) dengan mata uang barunya. Negara itu nyaris
bangkrut dan gulung tikar. Ketidakmampuan ilmu politik menjawab persoalan kontemporer
terkait tata kelola ekonomi politik sebuah negara, antara bangsa-negara, akan
mengkhawatirkan proses perdamaian dunia. Kajian ilmu lain speerti cultural
studies, sociology, dan ilmu humaniora lainnya seringkali berhenti pada
deskripsi dan penjelasan sebuah persoalan terjadi dan berlangsung tetapi tidak
pada upaya untuk mengubah suatu keadaan (praxis) sehingga semua ilmu ini
disebut mandeg.
Walau berbagai
seminar internasional diadakan setiap hari, di berbagai tempat, kajian ilmu
politik seolah dan serasa tetap stagnan atau involotif. Situasi demikian
hanyalah proses pengulang/reproduksi pikiran/teori masa lalu, menulis kembali,
dan menjelaskan dengan cara-cara baru tetapi sebenarnya itu tidak banyak
memberikan pengaruh untuk baik penemuan ilmu baru/inovasi, dan untuk sebuah
solusi praktis. Karakter ilmu politik yang deskriptif dan explantion saja
menjadikan lambat laun orang semakin gelisah, pelaku pemerintahan tidak lagi
menjadikan ilmu poltik sebagai soku guru dalam menjalankan roda pemerintahan tetapi
hanya menjadi bacaan dan referensi yang rutin tanpa adanya perangkat
operasional baru yang brilian untuk menerapkannya. Inilah yang sata sebut
sebagai involusi ilmu politik pada khususnya, dan ilmu-ilmu sosial humaniora
lainnya pada umumnya.
Involusi itu
menimbulkan kegalauan yang luar biasa. Ilmuwan politik terjebak pada produksi
wacana dan reproduksi penjelasan dari pada memberikan solusi konstektual dan
aktual untuk masyarakat. Ilmuwan politk seolah berhenti pada kajian bahwa
politik adalah ilmu tentang siapa mendapatkan apa (Laswell) ketimbang siapa
(ilmuwan) memberikan apa untuk kemajuan dan kebaikan masyarakat secara umum.
Jika demikian lalu hukum ekonomi justru lebih diakomodir untuk mengatakan siapa
kuat dia dapat ketimbang bagaimana sistem politik harus memberikan dampak
keadilan dan pemeriataan kesejahteraan (share prosperity). Jika demikian,
kegalauan ilmu politik akan terus berlangsung sampai pada titik dimana
konsep-konsep bernas tentang idealisme pengelolaan negara, memperkuat negara
itu menjadi kenyataan sejarah.
Honolulu, Mei 7,
2012
No comments:
Post a Comment