Monday, May 7, 2012

Ilmu Politik Dalam Kegalauan


David Efendi

Banyak hal telah menjadi bahan bakar yang menggiring kita pada suatu kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan pada umumnya terjadi involusi semenjak lebih dari dua dekade terakhir. Hal ini pernah disinggung dengan nada yang sangat provokatif dan sinis oleh ilmuwan yang bernama John Horgan (1997) dalam bukunya The End Of Science: Facing The Limits Of Knowledge In The Twilight Of The Scientific Age. Bukan hanya dalam temuan-temuan tekhnologi dan ilmu pengetahuan alam saja namun juga di dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kita saksikan gejala ini terjadi di berbagai negara di belahan dunia tidak memandang di belahan bumi yang disebut negara pusat, peri-peri, kelas satu, dan kelas 2 dan seterusnya.


Temuan-temuan revolusioner itu terjadi selama atau setelah revolusi industri (1750 -1850) dan revolusi politik (Perancis, 1789–1799) yang keduanya membuat sistem dunia dan tata kelola pemerintahan berubah secara dramatis. Gejala perubahan bentuk pasar/perdagangan, ideologi dan sistem pemerintahan dilahirkan oleh masyarakat pada tahun-tahun itu. Setelah itu tidak ada lagi revolusi yang dapat mengguncang keimanan masyarakat dunia. Jika ada temuan itu pada umumnya sifatnya komplementer atau sekedar pelengkap sistem teori dan pengetahuan yang sudah ada. Hal ini seolah membenarkan bahwa sejarah sudah berakhir, ideologi sudah musnah, dan tata kelola pemerintahan sudah tidak ada lagi yang lebih baik dari apa yang ada hari ini (warisan masa revolusi Perancis). Segala telah berakhir. Dalam bahasa agama disebut sebagai ujung zaman menjelang Kiamat. Namun proses itu tidak langsung terjadi namun ada periode-periode transisi yang mungkin saja ini sedang terjadi.

Dalam tulisan ini mencoba lebih fokus kepada bagaimana transisi atau yang disebut Thomas Khun sebagai periode krisis setelah menjalani masa-masa normal dan akan menuju titik normal yang baru. Namun gambaran siklus ini juga mengandung resiko untuk membaca suatu sejarah yang menurut banyak ilmuwan tidak melulu linear karena alam tempat manusia berpijak pun mengalami krisis, penuaan, dan kehancuran yang tidak semua bisa kembali menjadi posisi normal lagi. Ilmu pengetahuan tidak semuanya dapat menjalani siklus hidup yang abadi sebagaimana proses yang digambarkan Khun. Bahkan orang seperti Fukuyama menklaim bahwa sejarah manusia sudah berakhir dengan titik capaian puncak pada sistem ekonomi liberal dan tata kelola pemerintahan demokrasi. 

Demokrasi bukanlah suatu sistem baru karya cipta zaman baru, tetapi sudah dilahirkan pada 508 sebelum masehi. Jadi kemenangan tata kelola pemerintahan hari ini adalah kemanangan pemikir masa lalu. Tergusurnya sistem monarkhi absolut dan diktatorship oleh demokrasi tidak serta merta akan mengalami krisis yang panjang lalu memicu berdirinya kerajaan-kerajaan baru seperti masa lalu, namun menimbulkan kerentanan hidup dalam cengkraman kerajaan ekonomi dunia yang dalam batas tertentu imaginer. IMF dan Wold bank adalah kerajaan keuangan dunia yang perannya tidak seperti stabilnya tata kelola kerajaan monarkhi absolut masa lalu. Kerentanan ini tidak bisa menghalangi sedikitpun tata kehidupan yang timpang, krisis, kemiskinan, dan sebagainya. Jadi, stabilitas yang terjadi adalah semu. Di sinilah Khun tidak bisa menjelaskan arti stabilitas sebuah ilmu (normal science) dalam kehidupan kontemporer.

Ilmu politik, ilmu sosial yang mengalami perluasan cakupan bahkan dalam banyak kasus ilmu politik sudah tidak lagi bisa berdiri sebagai ilmu tersendiri dan kembali seperti masa lalu di mana ilmu politik tidak disekat dan diasingkan dari ilmu lain. Pengetahuan yang spesialis nampaknya semakin hilang autentisitasnya karena faktanya setiap ilmu bisa kawin dan beranak menjadi spesies baru yang ambigu dan justru memicu krisis baru ditubuh ilmu pengetahuan. Sekat-sekat ilmu ini adalah temuan zaman baru yang kurang mempunyai fondasi kuat seperti temuan masa lalu. Ilmu politik dikenal belum lama tetapi ilmu negara dengan segala piranti sosial budaya sudah melekat ribuan tahun. Kekuatan itu tidak mampu ditolak oleh ilmuwan hari ini yang sekedar mempertahankan erbedaan ilmu politik dengan ilmu sosial lainnya. Ilmu politik kini tidak hanya digunakan untuk mempelajari negara tetapi juga mengarah pada diskursus bahasa, simbul, kebuadayaan, lide style yang juga dipolitisasi oleh negara dalam rangka mempertahankan kekuasaannya.

Disinilah ilmu politik kemudian dianggap kehilangan jenis kelaminnya, Seorang teman ilmu politik mengalami disorientasi kajiannya. Tetapi beberapa kelompok justru ini adalah kemenangan ilmu politik untuk mengembangkan kajian barunya. Pergeseran kajian ini juga saya alami ketika saya merasa jenuh dengan kajian lembaga negara dalam ilmu politik. Lalu saya menemukan kajian everyday politik, grassroot politics, politik antropology, atau penelitiaan politik dengan pendekatan ethnografi. Di UGm disinyalir oleh  seorang dosen bahwa terjadi pergeseran minat dari formal politik ke arah informal politik (daily politics). Tentu kita masih bertanya, pergerseran ini sebagai suatu yang positif atau negatif. Tetapi dapat dipastikan bahwa pergeseran ini tidak akan mampu mengungguli temuan-temuan ilmuwan masa lalu yang sangat legendaris seperti teori demokrasi dan tata negara yang dipengaruhi oleh nuansa filsafat yang kental.

Wajar saja, beberapa orang mengatakan sinis tentang ilmu politik karena ilmuwan politik kini memasuki ruang-ruang kampung dan kelompok pedalaman yang selama ini dikapling oleh antropologi. Expansi ilmu politik ini meresahkan ketika hasil kajian politik dari lapangan menjadi lebih dipertimbangkan oleh negara ketimbang hasil riset antropolog. Diskusi ini sebagain sudah muncul. Namun pointnya adalah apakah ilmu politik mengalami kegalauan, keresehan, kejenuhan, keberakhiran dengan kajian aslinya sehingga harus mengambil kajian disiplin ilmu lain. Gerakan sosial selama ini seperti menjadi hak paten sosiologi kini tidak lagi dapat dimonopolinya. Ilmu politik dapat menggunakan Political opportunity structure(POS) untuk memahami fenomena gerakan protes masyarakat. Di sisi lain, banyak kajian juga mengambil metode cara pikir ilmu politik untuk memahami permasalahan sosial seperti lingusitik, kajian regional, sosiologi, dan sebagainya.  

Di kampus saya, University of Hawaii at Manoa, nampaknya ilmu politik mempunyai faksi beragam ada yang menekankan pada kajian lokal, kultural, dan global. Minat yang beragam diantara pengajar menjadikan departemen ini mengeluarkan kegiatan akademik yang disebut local-global colloqium yang diadakan setiap mingguan dengan diversifikasi topik yang lintas batas disiplin ilmu seperti urban planning, asean studies, public policy, sosial movement, indigenious politics, globalisasi, dan seterusnya. Beberapa dosen/profesor pengajar juga bisa bergabung lebih dari satu jurusan untuk mengajar. Di sini saya merasa ilmu politik sudah membaur dan bourderless dengan jenis ilmu lain. Di sudut pikiran lainnya aku merasa ini adalah situasi krisis, involusi ilmu politik dimana sekian puluh tahun tidak menelurkan gagasan baru apa pun dalam penyelesaian persoalan tata kelola pemerintahan. Padahal, demokrasi sudah banyak dikritik, dilabeli gagal, dan seterusnya karena kegagalan itu pasti mempunyai dasar karena demokrasi apapun jenisnya--liberal, konsosiasional, konstitutional, akan mengalami keterbatasan karena kata itu sendiri lahir dari komunitas negara kota (polis) yang sangat kecil. 

Baik ilmu politik di Amerika atau Ilmu Pemerintahan di Eropa nampaknya keduanya mengalami situasi krisis yang serius atau dengan kata lain jalan ditempat (involusi). Kajian birokrasi mandeg di Eropa dan negara-negara bekas jajahannya. Kajian birokrasi dan organisasi pemerintahan tidak ada yang baru. Di mana-mana lembaga negara komposisinya sama atau serupa. Inovasi birokrasi ala Amarika yang diprakarsai Ted Gebler dan David Osborne 'gagal' dilaksanakan di Amerika. Banyak orang sepakat birokrasi Amerika bobrok luar biasa sehingga banyak kelompok emnolak sistem birokrasi dan peran negara. Ilmu politik di Amerika, hanya mengkopi model polling dan survey ala psikologi atau economic preference untuk memahami perilaku memelih masyarakat dalam pemilu yang hanya dan hanya berakhir pada industrialisasi lembaga polling atau penelitian yang tidak lain dna tidak bukan adalah persoalan politik as bisnis as usual. Lahirnya fenomena survey politik tidak banyak mengubah keadaan selain perang spkulasi dan asumsi kenapa seorang kandidat menang dan kenapa yang lainnya kalah. ALiran uang lebih penting dalam bisnis ini sehinga subtansi pemilu juag semakin hilang. Hilang karena bukan hanya antusias ublik ettapi lembaga-lembaga survey sebagai industri baru telah menggeser keimanan publik akan inti sari demokrasi menjadi angka-angka manipulatif.



Ada dua istilah yang dianggap sangat baru adalah munculnya terminologi "global governance" dan "global democracy" dalam tata kelola negara dan hubungan antar negara. Namun kenyataannya dua terminologi itu justru menjebak para ilmuwan politik untuk menjadi subordinat dari globalisasi kapital dan korporasi global untuk memperebutkan sumber daya ekonomi dengan menggunakan kendaraan politik yaitu sistem pemerintahan yang lebih terbuka (demokrasi) dan sistem penyeragaman institusi pemerintahan secara umum. Ini juga menjaidkan ilmu ekonomi semakin asik berpoligami dengan ilmu ekonomi dalam madzab neoliberal. Istilah "Global democracy" dan "globalized governance" tidak lain dan tidak bukan adalah alat kapitalis dunia untuk menaklukan dan menguasai sumber ekonomi. Inilah persekongkolan gila antara kapitalisme, globalisme dengan politik dimana situasi ini juga menyuburkan tragedi pengkhianatan intelektual ilmu politik. 

Ketika ilmu politik krisis, dalam perspektif saya yang sangat terbatas disiplin ilmu lain pun akan mengalami hal yang sama terkait misalnya pengelolaan tata kelola ekonomi sebuah negara. Di Yunani, asal muasal kata demokrasi, sendiri mengalami situasi sulit dalam pengelolaan ekonomi yang mana sudah menjadi bagian dari persatuan Eropa (european union) dengan mata uang barunya. Negara itu nyaris bangkrut dan gulung tikar. Ketidakmampuan ilmu politik menjawab persoalan kontemporer terkait tata kelola ekonomi politik sebuah negara, antara bangsa-negara, akan mengkhawatirkan proses perdamaian dunia. Kajian ilmu lain speerti cultural studies, sociology, dan ilmu humaniora lainnya seringkali berhenti pada deskripsi dan penjelasan sebuah persoalan terjadi dan berlangsung tetapi tidak pada upaya untuk mengubah suatu keadaan (praxis) sehingga semua ilmu ini disebut mandeg.

Walau berbagai seminar internasional diadakan setiap hari, di berbagai tempat, kajian ilmu politik seolah dan serasa tetap stagnan atau involotif. Situasi demikian hanyalah proses pengulang/reproduksi pikiran/teori masa lalu, menulis kembali, dan menjelaskan dengan cara-cara baru tetapi sebenarnya itu tidak banyak memberikan pengaruh untuk baik penemuan ilmu baru/inovasi, dan untuk sebuah solusi praktis. Karakter ilmu politik yang deskriptif dan explantion saja menjadikan lambat laun orang semakin gelisah, pelaku pemerintahan tidak lagi menjadikan ilmu poltik sebagai soku guru dalam menjalankan roda pemerintahan tetapi hanya menjadi bacaan dan referensi yang rutin tanpa adanya perangkat operasional baru yang brilian untuk menerapkannya. Inilah yang sata sebut sebagai involusi ilmu politik pada khususnya, dan ilmu-ilmu sosial humaniora lainnya pada umumnya. 



Involusi itu menimbulkan kegalauan yang luar biasa. Ilmuwan politik terjebak pada produksi wacana dan reproduksi penjelasan dari pada memberikan solusi konstektual dan aktual untuk masyarakat. Ilmuwan politk seolah berhenti pada kajian bahwa politik adalah ilmu tentang siapa mendapatkan apa (Laswell) ketimbang siapa (ilmuwan) memberikan apa untuk kemajuan dan kebaikan masyarakat secara umum. Jika demikian lalu hukum ekonomi justru lebih diakomodir untuk mengatakan siapa kuat dia dapat ketimbang bagaimana sistem politik harus memberikan dampak keadilan dan pemeriataan kesejahteraan (share prosperity). Jika demikian, kegalauan ilmu politik akan terus berlangsung sampai pada titik dimana konsep-konsep bernas tentang idealisme pengelolaan negara, memperkuat negara itu menjadi kenyataan sejarah.

Honolulu, Mei 7, 2012

No comments:

Post a Comment