Friday, April 27, 2012

POLITIK: Antara Kata dan Laku


David Efendi

Politik, bisa dimaknai beragam bentuk dan dari banyak perspektif. Karakter politik itu sendiri adalah karakter yang tidak tunggal alias jamak sehingga seringkali kita pun terjebak untuk berfikir dengan cara politik untuk melihat berbagai persoalan publik. Politik bisa dibicarakan siapa saja dan dipraktikkan siapa pun tanpa sadar bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah akrobat dan game yang berdimensi politik. Politik, bisa dimaknai dan diperlakukan berbeda oleh kelompok-kelompok yang berbeda baik di level pemerintah, level organisasi kemasyarakatan maupun individual.

Walau demikian meminjam bahasa Ben kerkvliet, antara ketiga tipe politik di atas: official politics, advocacy politics, an grassroot politics (everyday politics) dapat bertemu dalam situasi dan kondisi tertentu. Jadi, benar bahwa negara kemudian emnjadi alat kontestasi atau ruang politik untuk masing-masing golongan memperebutkan makna dan impiannya untuk menjadi kenyataan.


Dalam keseharian, relasi politik itu ada walau dengan tingkat yang paling tidak kentara. Karena itulah, definisi politik itu sendiri berjumlah ribuan macamnya. Saya sendiri mengangap berbagai literatur teori sebagai a working definition atau changing definition yang tidak bisa diklaim sebagai definisi yang baku dan tetap. Politik tidak hanya mewaahi nilai-nilai kebaikan umum, olitik juga bisa dipolitisasi untuk kepentingan elit penguasa/elit pengusaha dalam rangka perebutan sumber daya ekonomi dan kekuasaan lembaga negara. Politik itu berwajah janus. Bisa menjadi malaikat dan iblis. Karena itulah gap itu menjadi suatu ruang diskusi untuk kompromi agar politik tidak bergeser menjadi negatif.

Definisi
Politik, menurut E.H Carr, berisi dua elemen penting yaitu "utopia" (cita-cita ideal) dan "reality" (kenyataan) dimana keduanya tidak pernah bertemu satu sama lain. Sementara Geoff Mulgan berfikir sebaliknya, yaitu bahwa konflik dan pertempuran antara utopia dan kenyataan, antara mimpi dna realitas akan menghasilkan suatu diskusi, dialog, pertukaran informasi yang akan mempertemukan keduanya (1994:5). Keberpihakan kepada sikap optimis Mulgan seiring dan sejalan dengan suatu pemikiran politik yang pernah dikutip oleh M Amien Rais bahwa politics is the art of possibelity. It makes possible what seems impossible. Tafsir bebas saya mengatakan bahwa politik adalah seni kepemimpinan untuk mewujudkan cita-cita bersama walau terasa sulit untuk direngkuh namun kemungkinan itu tetap ada.

Sementara Syafii Maarif punya posisi yang simetris dan sebangun dengan definisi Carr bahwa politik itu memecah. Politik kemudian mempunyai dimenasi jarak yang sangat jauh dengan kebaikan umum. Apa yang dijanjikan oleh politisi selalu menabrak logika kepentingan umum pada akhirnya--pada ujung pelaksanaannya. 

Impian dan Kenyataan
Kesenjanjangan antara kata dan laku, antara impian-cita-cita dnegan kenyataan sebenarnya dapat dilihat dari berbagai praktik politik di Indonesia sejak bergulirnya arus demokratisasi dan pemilihan langsung. Pada musim kampanye, misalnya, berapa miliar janji dan kata-kata manis dicurahkan hanya untuk memikat suara rakyat. Tetapi pelaksanaanya seringkali nihil. Inilah persoalan demokrasi liberal yang hanya menekankan pada hasil pelaksanaan pemilu tetapi bukan subtansi yang dimaksud. Banyaknya pemilihan umum hanya memperlebar jarak antara apa yang menjadi cita-cita masyarakat dengan kenyataan ekonomi, sosial, budaya yang diciptakan oleh pemerintah berikan.

Dari 398 Kabupaten,93 kota, 33 propinsi dan 33 propinsi hampir rata-rata semua sudah dua kali menyelenggarakan pemilihan umum di tingkat lokal (selain propinsi Yogyakarta). Secara metamatik kita sudah menghabiskan ratusan trilyunan rupiah untik membiayai sekitar 1046 pemilukada plus pileg dan pilpres 2004,2009. Tetapi, persoalan daerah semakin rumit baik yang menyakut konflik horisontal maupun vertikal. Persoalan di level pusat tidak kalah parah aibat korupsi dan politik dagang sapi di parlemen. Carut marut politik ini harus diuraikan satu demi satu secara cerdas. Satu hal yang sedang diujicobakana adalah kebijakan pemberian otonomi. Selain untuk menerapkan demokratisasi, kebijakan ini dibayangkan akan meredam pemberontakan di daerah.

Setelah lebih dari 10 tahun, progres dari upaya regionalisai dalam konsep otonomi daerah tergolong sangat terbatas. Desentralisasi dan otonomi daerah masih/baru sedikit bergeser dari sebuah utopia sementara apa yang emnjadi kenyataan adalah sentralisasi. Sentralisasi sumber daya ekonomi pada kelas elit tertentu, elit lama, dan pemilik modal yang memenangkan kompetisi demokrasi. Studi sudah banyak dilakukan dengan temuan yang menguatkan argumen tersebut. Hal ini bisa dilacak dari kajian Vedi R Hadiz, Syarif Hidayat, Nankyung Choi, dan juga Henk Nordholt dkk. Dari kajian tersebut kita tahu bahwa rezim orde reformasi belum banyak berubah bahkan beberapa ornag menilai ini hanya keberlanjutand ari sistem orde baru dengan elit-elit penguasa/pengusaha baru yang dilahirkan dari rahim elit lama.

Pemilu itu sendiri punya dimensi politik dan sosial yang sangat penting karena beberapa alasan. Pertama, pemilu merupakan wahana pembaharuan pemerintah baik lokal maupun nasional. Pemerintah yang kurang berhasil bisa diakhiri dengan tidak dipilih rakyat dan sebaliknya, bagi pemerintah dengan dukungan partai yang dirasa membuat banyak kemajuan dalam kehidupan khalayak umum tentu dapat dilanjutkan ke babak kedua. Ini hukum alam walau tidak absolut terjadi akibat permainan politik uang. Kedua, pemilu menjadi sarana penting untuk mengartikulasikan impian dan cita-cita rakyat emnjadi cita-cita pemerintah juga sehingga lambat laun gap antara harapan dan  kenyataan menjadi semakin menipis. Political Will yang akan mengantarkan pada situasi yang lebih setara dan tidak timpang baik secara filosofis, teoritis, maupun praksis.

Terakhir, pemilu menjadi satu bentuk partisipais rakyat secara langsung untuk menentukan arah pembangunan daerah dan pusat. Hanya untuk menopang kepentingan ini perlu tersedia pra kondisi yang lebih stabil dibidang akses informasi, kebebasan sipil, kebebasan pers, lembaga demokrasi, asosiasi, atau bekerjanya sektor modal sosial dalam praktik-praktik pembuatan kebijakan publik.

Bangsa mempunyai bayangan sendiri tentang masa lalu dan masa depannya. Negara mempunyai cita-cita luhur yang dibayangkan oleh para pendirinya. Masyarakat modern punya tuntutan kebebasan untuk menentukan masa depan dan kehidupan politik budaya sehari-hari. Karena itu, politik harus bisa mewadahi beragam kepentingan ini dalam suatu sistem budaya politik. Jika kepentingan tidak bisa terpenuhi maka selamanya dan sampai kapan pun kesenjangan antara politik sebagai cita-cita mulia dan sebagai kenyataan akan terus berlanjut. Demikian, semoga sedikit memberikan nalar pencerahan.

No comments:

Post a Comment