David
Efendi
Politik,
bisa dimaknai beragam bentuk dan dari banyak perspektif. Karakter politik itu
sendiri adalah karakter yang tidak tunggal alias jamak sehingga seringkali kita
pun terjebak untuk berfikir dengan cara politik untuk melihat berbagai
persoalan publik. Politik bisa dibicarakan siapa saja dan dipraktikkan siapa
pun tanpa sadar bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah akrobat dan game yang
berdimensi politik. Politik, bisa dimaknai dan diperlakukan berbeda oleh
kelompok-kelompok yang berbeda baik di level pemerintah, level organisasi
kemasyarakatan maupun individual.
Walau
demikian meminjam bahasa Ben kerkvliet, antara ketiga tipe politik di atas:
official politics, advocacy politics, an grassroot politics (everyday politics)
dapat bertemu dalam situasi dan kondisi tertentu. Jadi, benar bahwa negara
kemudian emnjadi alat kontestasi atau ruang politik untuk masing-masing
golongan memperebutkan makna dan impiannya untuk menjadi kenyataan.
Dalam
keseharian, relasi politik itu ada walau dengan tingkat yang paling tidak
kentara. Karena itulah, definisi politik itu sendiri berjumlah ribuan macamnya.
Saya sendiri mengangap berbagai literatur teori sebagai a working definition
atau changing definition yang tidak bisa diklaim sebagai definisi yang baku dan
tetap. Politik tidak hanya mewaahi nilai-nilai kebaikan umum, olitik juga bisa
dipolitisasi untuk kepentingan elit penguasa/elit pengusaha dalam rangka
perebutan sumber daya ekonomi dan kekuasaan lembaga negara. Politik itu
berwajah janus. Bisa menjadi malaikat dan iblis. Karena itulah gap itu menjadi
suatu ruang diskusi untuk kompromi agar politik tidak bergeser menjadi negatif.
Definisi
Politik,
menurut E.H Carr, berisi dua elemen penting yaitu "utopia" (cita-cita
ideal) dan "reality" (kenyataan) dimana keduanya tidak pernah bertemu
satu sama lain. Sementara Geoff Mulgan berfikir sebaliknya, yaitu bahwa konflik
dan pertempuran antara utopia dan kenyataan, antara mimpi dna realitas akan
menghasilkan suatu diskusi, dialog, pertukaran informasi yang akan
mempertemukan keduanya (1994:5). Keberpihakan kepada sikap optimis Mulgan
seiring dan sejalan dengan suatu pemikiran politik yang pernah dikutip oleh M
Amien Rais bahwa politics is the art of possibelity. It makes possible what
seems impossible. Tafsir bebas saya mengatakan bahwa politik adalah seni
kepemimpinan untuk mewujudkan cita-cita bersama walau terasa sulit untuk
direngkuh namun kemungkinan itu tetap ada.
Sementara
Syafii Maarif punya posisi yang simetris dan sebangun dengan definisi Carr
bahwa politik itu memecah. Politik kemudian mempunyai dimenasi jarak yang
sangat jauh dengan kebaikan umum. Apa yang dijanjikan oleh politisi selalu
menabrak logika kepentingan umum pada akhirnya--pada ujung
pelaksanaannya.
Impian
dan Kenyataan
Kesenjanjangan
antara kata dan laku, antara impian-cita-cita dnegan kenyataan sebenarnya dapat
dilihat dari berbagai praktik politik di Indonesia sejak bergulirnya arus
demokratisasi dan pemilihan langsung. Pada musim kampanye, misalnya, berapa
miliar janji dan kata-kata manis dicurahkan hanya untuk memikat suara rakyat.
Tetapi pelaksanaanya seringkali nihil. Inilah persoalan demokrasi liberal yang
hanya menekankan pada hasil pelaksanaan pemilu tetapi bukan subtansi yang
dimaksud. Banyaknya pemilihan umum hanya memperlebar jarak antara apa yang
menjadi cita-cita masyarakat dengan kenyataan ekonomi, sosial, budaya yang
diciptakan oleh pemerintah berikan.
Dari
398 Kabupaten,93 kota, 33 propinsi dan 33 propinsi hampir rata-rata semua sudah
dua kali menyelenggarakan pemilihan umum di tingkat lokal (selain propinsi
Yogyakarta). Secara metamatik kita sudah menghabiskan ratusan trilyunan rupiah
untik membiayai sekitar 1046 pemilukada plus pileg dan pilpres 2004,2009.
Tetapi, persoalan daerah semakin rumit baik yang menyakut konflik horisontal maupun
vertikal. Persoalan di level pusat tidak kalah parah aibat korupsi dan politik
dagang sapi di parlemen. Carut marut politik ini harus diuraikan satu demi satu
secara cerdas. Satu hal yang sedang diujicobakana adalah kebijakan pemberian
otonomi. Selain untuk menerapkan demokratisasi, kebijakan ini dibayangkan akan
meredam pemberontakan di daerah.
Setelah
lebih dari 10 tahun, progres dari upaya regionalisai dalam konsep otonomi
daerah tergolong sangat terbatas. Desentralisasi dan otonomi daerah masih/baru
sedikit bergeser dari sebuah utopia sementara apa yang emnjadi kenyataan adalah
sentralisasi. Sentralisasi sumber daya ekonomi pada kelas elit tertentu, elit
lama, dan pemilik modal yang memenangkan kompetisi demokrasi. Studi sudah
banyak dilakukan dengan temuan yang menguatkan argumen tersebut. Hal ini bisa
dilacak dari kajian Vedi R Hadiz, Syarif Hidayat, Nankyung Choi, dan juga Henk
Nordholt dkk. Dari kajian tersebut kita tahu bahwa rezim orde reformasi belum
banyak berubah bahkan beberapa ornag menilai ini hanya keberlanjutand ari
sistem orde baru dengan elit-elit penguasa/pengusaha baru yang dilahirkan dari
rahim elit lama.
Pemilu
itu sendiri punya dimensi politik dan sosial yang sangat penting karena
beberapa alasan. Pertama, pemilu merupakan wahana pembaharuan pemerintah baik
lokal maupun nasional. Pemerintah yang kurang berhasil bisa diakhiri dengan
tidak dipilih rakyat dan sebaliknya, bagi pemerintah dengan dukungan partai
yang dirasa membuat banyak kemajuan dalam kehidupan khalayak umum tentu dapat
dilanjutkan ke babak kedua. Ini hukum alam walau tidak absolut terjadi akibat
permainan politik uang. Kedua, pemilu menjadi sarana penting untuk
mengartikulasikan impian dan cita-cita rakyat emnjadi cita-cita pemerintah juga
sehingga lambat laun gap antara harapan dan kenyataan menjadi semakin
menipis. Political Will yang akan mengantarkan pada situasi yang lebih setara
dan tidak timpang baik secara filosofis, teoritis, maupun praksis.
Terakhir,
pemilu menjadi satu bentuk partisipais rakyat secara langsung untuk menentukan
arah pembangunan daerah dan pusat. Hanya untuk menopang kepentingan ini perlu
tersedia pra kondisi yang lebih stabil dibidang akses informasi, kebebasan
sipil, kebebasan pers, lembaga demokrasi, asosiasi, atau bekerjanya sektor modal
sosial dalam praktik-praktik pembuatan kebijakan publik.
Bangsa
mempunyai bayangan sendiri tentang masa lalu dan masa depannya. Negara
mempunyai cita-cita luhur yang dibayangkan oleh para pendirinya. Masyarakat
modern punya tuntutan kebebasan untuk menentukan masa depan dan kehidupan
politik budaya sehari-hari. Karena itu, politik harus bisa mewadahi beragam
kepentingan ini dalam suatu sistem budaya politik. Jika kepentingan tidak bisa
terpenuhi maka selamanya dan sampai kapan pun kesenjangan antara politik
sebagai cita-cita mulia dan sebagai kenyataan akan terus berlanjut. Demikian,
semoga sedikit memberikan nalar pencerahan.
No comments:
Post a Comment