Thursday, March 8, 2012

Puasa dan Gerakan Anti Imperealisme Kerakusan


David Efendi

”I have lost three kgs but I am getting energy from my supporters across the country.
The countrymen should not lose this spirit, this is our fight against corruption.”
 Anna Hazare


Dari banyak catatan sejarah kita bisa melihat bagaimana 'puasa' sebagai ritual keagamaan dijadikan media untuk mengeskpresikan perlawanan terhadap penjajahan. Tradisi puasa sebenarnya tidak hanya monopoli agama tertentu, namun penggalan sejarah membuktikan bahwa puasa dapat meningkatkan dan membangkitkan solidaritas rakyat untuk bangkit melawan berbagai bentuk imperealisme, kolonialisme, termasuk melawan rejim diktator dan juga penguasa korup. Titik sejarah itu paling kuat dapat kita saksikan dalam sejarah Islam, India, dan beberapa bagian ada di Indonesia. Untuk lebih detail mari kita tengok satu persatu.

Ada dua terminologi yang perlu dibuat jelas dalam tulisan ini. Pertama adalah pengertian puasa. Puasa, tidak identik dengan islam atau agama dominan saja karena praktik ritual puasa sejatinya adalah upaya menomorduakan kepentingan duniawi yang identik dengan kerakusan karena tidak akan ada puasnya selagi masih bisa diperbesar. Sehingga makna puasa adalah menghindarkan sikap kerakusan dengan memboykot nafsu lahiriah dan bathiniah--nafsu kebinatangan. Makna lain adalah, puasa sebagai keberpihakan atau rasa solidaritas terhadap kelompok sosial yang miskin atau mustadafin. Kedua, adalah perluasan arti imperalisme dalam era baru peradaban. Arti mperalisme abad sebelum ke 19 dengan stelah berakhirnya perang dunia ke2 (abad 20) sangatlah jauh berbeda. Imperealisme periode awal ditandai dengan penaklukan wilayah kekuasaan tertentu, mengeksploitasi fisik penduduk setempat untuk kepentingan perdagangan dunia (merkantilisme), sementara imperalisme zaman baru adalah akibat surplus of value atau exsploitasi (Marxism) yang ditandai dengan legalitas dalam negara modern. Perbuatan ini tidak dibenarkan dalam agama apa pun sebab menihilkan pentingnya keadilan. Dan ini adalah bagian praktik sehari-hari dari penindasan oleh kelas borjois baik lokal atau internasional, sementara imperalisme kerakusan juga bisa dilakukan oleh badan-badan atau pejabat ototitas negara dengan cara korupsi atau bentuk penyelewengan wewenang (power abuse) lainnya.



Dari Arab Jahiliyah sampai Arab Spring
Pada sejarah Islam tertulis kemenangan perang badar dilakukan pada bulan puasa. Kemenangan ini hampir tidak masuk akal para tentara islam akibat musuh dan perlengkapan yang tidak sebanding dengan yang dimiliki pasukan yang sedang berpuasa. Beberapa buku menuliskan tentara islam hanya sekitar 300 melawan ribuan tentara kafir quraish yang menolak islam, menolak kehidupan yang lebih beradab dan ingin menguasai tanah arab dengan kejahiliyahan dan tradisi nenek moyang yang anti monoteisme. 

Puasa selain ritual hablum minaa Allah adalah media untuk meningkatkan militansi, kepercayaan pada sang khalik dan tentu saja secara spiritual masing-masing memberikan konstribusi akan perjuangan yang tidak sia-sia. Dengan puasa, manusia merasa punya tempat kembali, sebaliknya para kafirin semakin takut akan kemusnahan yang sia-sia. Inilah propaganda ideologi yang sangat melekat pada awal-awal sejarah kemenangan Islam. Kalau dalam teori gerakan sosial (social movement), ideologi menjadi subordinate dari kegiatan yang disebut "framing" karena ideologi dianggap tidak mampu melahirkan sikap rela mati tanpa adanya framing (David Snow dalam Ideologi framing and terrorism movement, 2002).

India dan puasa perlawanan

”I have full faith in my country. This government has looted the country, we will now only rest in peace when corruption gets removed from the country.” (Anna Hazare)

Beberapa bulan lalu, India mengejutkan dunia dengan kemunculan sosoak pengikut Mahatma Gandhi (1869-1948) yaitu Anna Zahare yang menjalni ritual puasa untuk menolak atau melawan korupsi di india. Zahare beberapa tahun mendekam di penjarah dan dengan demikian semakin matang secara spiritual. Ritual puasa selama 14 hari itu membangkitkan solidaritas rakyat india untuk bersimpati, mendukung, upaya perlawanan terhadap korupsi. Ini merupakan bentuk perlawanan non violance yang sudah dicontohkan oleh pendahulunya Mahatma Gandhi ketika melawan bangsa imperealist Ingris.

Setelah Gandhi, ada beberapa pengikutnya yang telah menggunakan puasa sebagai alat perlawanan seperti Potti Sriramulu yang meninggal tahun 1952 setelah 82 hari berpuasa untuk kelaiharan negara baru (India sekarang), Irom Sharmila Chanu yang berpuasa pada tahun 2000 demi memprotes kematian rakyat jelata,  ada Swami Nigamananda yang meninggal pada bulan Juni akibat puasa selama 115 hari untuk menolak penambangan illegal (kini banyak mata memperhatikan kerusakan alam akibat penambangan liar), dan terakhir yang juga munumental adalah Anna Zahare, yang dikenal puasa untuk melawan pemerintahan korup. Kini, mereka menyadarkan rakyat India untuk mengetahui kebenaran dan menolak kerakusan dalam segala bentuknya.

Karena itu para pejuang India tersebut layak mendapat gelar pejuang orang lapar. Majalah time pada edisi September 5, 2011 menuliskan "hungry for change" untuk menjuluki para pejuang India semenjak sebelum merdeka sampai India hari ini. Kalau tidak berlebihan saya ingin menambahkan, merekalah yang sudah sukses membuktikan kedahsyatan puasa (bukan sekedar mogok  makan), sebagai ritual yang sudah mengubah peradaban (Fast that changed the world).

Revolusi dan Reformasi di Indonesia
Perang kemerdekaan pada bulan agustus tahun 1945 yang berujung pada proklamasi kemerdekaan republik Indonesia secara kebetulan atau tidak adalah bertepatan dengan bulan ramadan dimana 89% jumlah penduduk sedang melakukan ibadah puasa. Dalam suasana bathin orang berpuasa adalah semangat pembebasan, semangat anti kemusrikan akibat keyakinan bahwa seluruh hidup dan mati, lapar adalah hanya untuk mengabdi kepada Allah. Jika ada penghalang melakukan keyakinan tersebut maka mereka akan rela untuk mati dan melawan semampu sekuat tenaganya. Ini adalah suasana kebathinan karena jihad anti penjajahan adalah kewajiban bagi setiao muslim jika ada penghalangan terhadap syariat yang diyakininya. 

Dalam tradisi lokal, Jawa, hindu, pun di Indonesia mempunyai ritual puasa untuk tujuan dan hajat tertentu. Banyak masyarakat kejawen jika menghendaki sesuatu maka dijalani dengan perlawnaan non fisik non kekerasan dengan cara berpuasa. Di Yogyakarta, saya mendapat informasi A1 dari beberapa  orang yang mengaku berpuasa sebulan penuh untuk menurunkan penguasa orde baru Suharto termasuk Sultan (Raja Yogyakarta) melakukan hal yang sama demi terwujudnya suksesi kekuasaan Indonesia yang tanpa diikuti kekarasan dan korban (Baca juga Pengantar Selo Soemardjan dalam buku "meneguhkan Tahta Untuk Rakyat, 1999). Jadi, sepengetahuan saya para pengikut "kejawen" atau apa yang disebut Clifford Geertz (1964) sebagai agama jawa berkeyakinan bahwa jika manusia tidak mampu mengubah keadaan maka yang leluhur atau yang berkuasa atas jagat akan membantu jika kita meminta maka ritual tertentu harus dilakukan untuk menggabungkan keinginan manusia, leluhur dan penguasa alam raya. Dalam tradisi islam-kejawen ini disebut "manunggaling kawula lan gusti" dengan ertama harus yakin mengenai ajaran "sangkan paraning dumadi." Sudjiwo tedjo (2011) menerjemahkan ajaran luhur ini dengan kalimat sederhana bahwa "kita tidak akan mengerti kemana kita akan pergi, kalau kita tidak tahu dari mana kita datang/berasal". Ini adalah bentuk tauhid kejawen yang tidak bertentangan dengan agama mainstream.

Menjelang tumbang Suharto, banyak mahasiswa sambil demonstrasi melakukan mogok makan (sedikit beda dengan puasa) namun maksudnya adalah mengundang perhatian bahwa perjuangan mereka adalah perjaungan menaruhkan nyawa demi kehidupan lebih baik yang juga mengundang simpati mahasiswa lainnya dan juga para tokoh untuk menyelamatkan nyawa mereka. Mereka menggabungkan ritual dengan bentuk-bentuk radikalisme kaum kiri, sambil mogok makan juga menduduki gedung rakyat. Upaya ini diyakini cukup memberikan dampak psikologis bagi demonstran atau bagi pihak penguasa (people in power).

Sayang, akhir-akhir ini tidak muncul solidaritas anti korupsi akibat pengausa yang terlalu kuat. Ritual puasa semakin melemah, sehabis bulan puasa korupsi merajalela artinya puasa bukan menjadi alat perlawanan tetapi menjadi formalitas saja tanpa makna perubahan keadaban. Di saat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dihabisi, dirongrong, dan dilemahkan tidak muncul tokoh dengan kekuatan simbol spiritual yang mampu menyatukan kesadaran publik sebagaimana terjadi di India dari sosok Anna Hazare. Koruptor dan sindikatnya melawan kebenaran semakin menguat sebagaimana fenomena the corruptors fight back. Puasa mengalami keterpurukan makna dalam kilasan sejarah Indonesia baru. Jika manusia tidak berdaya melawan kerakusan imperealisme baru, dan relasi dengan leluhur atau pengausa jagat juga memudar, maka perubahan sulit untuk diwujudkan dalam bentuk pembangunan kesadaran secara radikal.


Catatan Kaki
Puasa, adalah satu kekuatan spiritual yang dapat ditransformasikan dalam kekuatan fisik para pelakunya. Puasa sudah seharusnya menjadi bagian alat perjuangan atau perlawanan terhadap dominasi yang dimulai dari perlawnaan terhadap hegemoni nafsu kebinatangan. Puasa sudah seharusnya menjadi satu bagian dari startegi dalam teor gerakan sosial untuk disejajarkan dengan bentuk-bentuk perlawanan lainnya seperti boycot, sit-in, demontrasi, pendudukan (occupy), dan sebagainya. Singkatnya, bahwa anusia-manusia rakus dan haus kekuasaan, politisi busuk, pejabat rakus hanya bisa dilawan bahwa kita tidak makan apa yang mereka ingin kuasai, dengan tidak mendewakan keuangan dan harta benda. Dan itulah makna puasa sebagai alat perlawanan!

No comments:

Post a Comment