David Efendi
1. Setahun lalu sempat terpikirkan apa yang
ditulis oleh Bill Liddle dan Saiful Mujani terkait Indonesia sebagai Masyarakat
islam tetapi demokrasinya sekuler. Hal ini merambah pada keyakinan lainnya
bahwa Indonesia ini bukan negara agama tetapi masyarakatnya 100% bisa dikatakan
memeluk agama dan kepercayaan tetapi ideologi pasarnya liberal dan kapitalis,
masyarakatnya materialis, pejabatnya terjangkiri kleptokratis.
Selain itu,
kesaksian saya di banyak desa yang merupakan pusat-pusat atau basis agama juga
mengalami disorientasi menjadi masyarakat yang haus hiburan. Teman saya
menyeletuk, islam agamanya, dangdut tontonannya. Ada yang salah? tidak ada
hukum positif yang dilanggar, bagaimana dengan hukum agama? bisa diperdebatkan
panjang lebar.
2. Setahu saya, ketika dekat dengan
profesor-profesor yang teorinya sudah dijadikan referensi di banyak university
ternyata mereka tidak show of force dengan apa yang sudah dicapai, bahkan
mereka memberikan rekomendasi untuk membaca karya-karya ilmuwan lainnya. Saya
tahu saya membutuhkan teorinya tetapi mereka justru mengarahkan agar mencari
perbandingan lainnya. Seorang professor ahli Jawa baik yang saya kenal disini
Prof Elice Dewey, Prof Patricia Steinhoff, atau via Email seperti Nancy Hefner
justru memberikan rekomendasi membaca bacaan lainnya. Seorang Profesor ternama
Ben Kerkvliet, memberikan list 50 buku bacaan untuk memahami apa yang beliau
temukan termasuk saya disuruh membaca buku yang berlawanan dengan ide teorinya
sendiri.
3. Terkait gaya hidup profesor di sini
memang inspiring. Ada profesor John Wilson yang mengajar filsafat politik tahun
lalu sudah pensiun, ke kampus selalu naik motor atau naik bus umum, Prof Debbie
jalan kaki dari kampus sekitar 20-25 menit hampir setiap hari. Banyak profesor
dengan mobil yang kalah keren sama mahasiswanya. Tidak ada gengsi, tidak ada
kehormatan yang dirusak gara-gara urusan diluar bidang keilmuawan ini. Jika
dibandingkan di Indonesia tentu 180 derajat bedanya???. Malam ini barusaja
pulang mengikuti seminar di Bishop Musium masalah Indegeneous Epistimology.
Kita mahasiswa yang tidak punya mobil diantar dan dipulangkan oleh profesor
sendiri. Ada kebaikan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Tidak ada yang
mendebat soal ini, bahwa profesor memang setara dan menjadi sahabat belajar yang
sangat helpful. Menarik untuk dicatat, di sini tidak ada tempat parkir yang
ditulisin parkir rektor, wadek, atau directur ini itu...semua manusia sama
hanya otaknya saja yang berbeda...
4. Bahwa memang ada kebenaran yang muncul
dari sudut lain di antara kita, kelompok, dan bagian dari bumi namun ini
sebenarnya utuh dalam spirit yang sama yaitu menciptakan better world. Ini
cocok sekali dengan keyakinan Imam Syafii bahwa ”Pendapatku, menurutku,
adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku,
adalah salah, namun ada kemungkinan benar”. Inilah yang kita diskusikan bersama
di Bishop Musium tadi sore-malam. Termasuk mengutip pendapat dan pemikiran dari
Budha, Yoga, Rumi, Aristoteles, Hawkins, sampai Native Hawaiian.
5. Tentara-tentara USA yang haus ilmu, ada
yang tertarik dengan konsep keduniaan dan kesejatian hidup. Dia seorang Militer
namanya Fabian Cook, angkatan Darat-Army. Dia punya pemikiran dunia yang lebih
baik dan memikirkan seandainya masyarakat ini tidak meterialism tentu lebih
damai kita hidup. Dia dari Florida kampungnya, konon terlalu banyak konflik di
komunitasnya akibat berebut mencari "happiness" tetapi mereka salah
mengira bahwa uang itu segalanya.
6. Sebagai seorang pedestrian di Honolulu,
salah satu kota yang cukup ramai pengunjungnya. Kita merasa sangat nyaman
karena mobil dan sopir bgitu menghargai pejalan kaki. Keselamatan kita
benar-benar dihargai dan diutamakan. Kalau berjalan di jalan raya walau sebagai
jaywalking kita tetap dihargai nyawa kita. Kecelakaan hampir tidak pernah
kutemui, karena antara satu kendaraan dengan lainnya menjaga jarak lebih dari
besar kendaraan itu,bahkan lebih sehingga kalau ada ambulan lewat pasti
gampang, ada orang lari juga bisa, dan tentu saja kalau macet gampang diselesaikan
karena jarak tadi.
7. Hak individu dalam ruang publik, hampir
tidak ada yang menyentuh selama punya kartu penduduk. Orang 'gelandangan' atau
homeless bisa tidur di ruang publik seperti taman kota, bus stop, pantai, dan
perpustakaan atau kampus yang notabene milik negara. Tidak akan ada yang
menyakiti. Milik negara artinya milik publik. Di negara republik harusnya
begitu konsepnya. Sayang, di banyak negara konsep ini dilupakan bahkan milik
negara itu artinya pamong praja bisa mengusir seenaknya dengan alasan
ketertiban, kenyamanan, kebersihan, dan prosedur lainnya.
8. Seperti tahun lalu, tadi malam Islam day
diselenggarakan dengan penuh ceria dan kedamaian. Islam Day sebagai kegiatan
pengenalan komunitas Islam kepada khalayak ramai di Hawaii sudah ketiga kalinya
diadakan. Semua orang bisa datang dan menikmati pertunjukan dan makanan.
Temanya tahun ini adalah "Islam Day, Peace celebration." Tepat
diselenggarakan ketika terjadi bom di sebuah gereja di Solo, tepatnya di gereja
Kepunton yang melukai banyak orang dan bahkan ada yang meninggal. Inilah
tragedi local global yang tidak sinergis. Satu sisi, mempromosikan kedamaian di
Hawaii kelompok Islam lain entah dnegan motis dan justifikasi apa justru
menghabisi manusia lain. Ini luar biasa antagonis. Islam kita, kapan akan
memberikan kedamaian bagi sesama?
9. Sepulang dari acara Islam Day di
Japanese Cultral center, saya menyaksikan seorang Pelatih Kendo, namanya Henry
Smalls yang merupakan Martial artist. Smalls ini manusia tanpa kedua kaki
bahkan hanya badan dan tangan saja dengan lincah dan gesit melatih
murid-muridnya. Bisa dilihat di Youtube silakan ketik namanya 'Henry Smalls'
akan muncul sesuatu yang dahsyat. Buktinya, prestasinya pun luar biasa, tak
kalah juga inspiratifnya tayangan Kick Andy semalam yang saya tonton di
Mivo.Tv. Ada Aam (Anak muda dengan semangat melawan keterbatasan fisiknya
menjadi sesuatu yang syarat makna, anak muda tanpa dua lengan ini dari Gresik),
Sofyan Rosidah seorang perempuan fotografer tanpa kedua lengan, dan lain-lain menyampaikan
betapa keterbatasan itu hanya persepsi 'normalitas' karena mereka bisa
melakukan aktifitas yang selayaknya orang lain. Jadi, cacat, tidak normal,
sakit itu murni hanyalah pekerjaan otak-otak yang menyimpan ketidakadilan.
10. Tadi siang, Rabu sep 28, seperti biasa
saya punya agenda 'ngaji' bersama Prof Elice Duwey, seorang profesor jebolan
harvard ahli Jawa terutama soal pasar di Jawa. Beliau profesor Antropologi di
UH Manoa. Pernah membimbing disertasi Ann Dunham Soetoro (Ibu Obama yang juga jebolan
UH Manoa dimana saya belajar). Minggu lalu, beliau menjajikan bacaan untuk
mendukung thesis saya dan hari ini lima buku dipinjamkan untuk saya mulai
dengan asal-usul sultan/kraton sampai keruntuhan Soeharto. Saya merasa
terhormat, karena beliau bukan pembimbing saya tetapi intensitas ketemunya
lebih sering. Kalau boleh klaim beliau pembimbing ke empat saya. Antusias dan
responnya luar biasa, lebih dari yang aku bayangkan sebelum kenal dengan
beliau. Ketika saya berikan souvenir, gelang, wayang, dan logo kraton beliau
sangat senang dan gelangnya langsung dipakai dan merasa sangat cocok.
Syukurlah, dan I really apreciate that.
11. GOSSIP. Waktu kecil sering aku
mendengar kata-kata 'rasan-rasan'. Yaitu kegiatan mengisi waktu luang untuk
ibu-ibu yang biasanya selesai mengerjakan aktifitas rumah, tidak sedang ke
sawah, atau suaminya kerja di luar negeri sehingga para ibu-ibu berkumpul
sambil mencari kutu atau apa saja dan bicara ngalor ngidul tentang sesuatu yang
belum jelas jluntrungnya. Di dunia barat apakah tidak ada 'tradisi' rerasan?
saya kira ada karena itu tabiat manusia yang ingin bicara apalagi orang barat
'talk active' dan kadang over dosis sehingga sering juga mereka menggosip
sana-sana. Tidak hanya di masyarakat luas, tetapi di kelas bersama profesor
kadang juga menggosip tentang kebijakan pemerintah bahkan mengosip ilmuwan lain
yang dianggap punya kelemahan. Ini terlepas baik buruk, sebab gosip kadang ada
baiknya. Konon revolusi bisa dimulai dari gossip yang massif sebagai sarana
everyday politics yang efektif. Gosip, jika menyangkut negara, tentu akan
banyak konribusinya bila dibanding gosip menyangkut privasi tetangga atau
individu. So, mari kita gossipkan negara kita, pemimpin kita yang tidak amnaah
dengan gosip yang membangun. Gosip tak dibedakan dengan kritik, tak berbeda
dengan politik media hanya cara dan jalan yang ditempuh berbeda.
12. Saya menyaksikan mahasiswa yang serius
memang banyak, tetapi yang tidak suka ke perpustakaan juga ada. Setahu saya
yang sering bekerja, membaca, atau menulis di library pada kenyataanya
orang-orang barat (sebagain saya tanya, mereka berobsesi menjadi profesor).
Mahasiswa dari Asia, bisa dibilang kurang suka ke perpustakaan termasuk
mahasiswa Indonesia, Vietnam, Thailand, dan Philipina. Saya lihat, teman-teman
Jepang ada beberapa yang sangat rajin ke perpustakaan, terutama mereka yang
punya teman 'bule' yang pekerja keras dalam belajar. Ini kesimpulan sederhana
saja, saya hampir tiap malam mengunjungi perpustakaan sampai petugas mencari
pengunjung dan bilang "...closed". Saya sering kaget pas lagi mojok
di lorong-lorong rak buku diruangan seluas masjid istiqlal itu. Saya tidak kuat
lama membaca, tetapi saya suka membaca dengan menjelajah at least daftar isi
sehingga tau petanya dan kapan-kapan bisa diburu lagi.
12. Ini akhir pekan yang melelahkan, syarat
beban pikiran, fisik, dan 'masa depan'. Siapa saja pasti akan jenuh dengan
kehidupan yang stagnan, tidak dinamis, involutif, kalau ada revolusi pasti
hanya revolusi yang sebenarnya imajinasi. Daya kekuatan kita tidak berbanding
dengan keinginan dan hasrat kita berkembang dan melejit. Kungkungan rutinitas
menjadi hambatan paling serius dalam hidup kita, terutama mahasiswa yang
kehilangan mood untuk belajar. Hal-hal baru tidak begitu memuaskan dan
mengobati kegersangan otak dan dinamika intelektual kita. Siapa pun jenuh,
dengan keadaan dunia yang tunggang langgang. Tidak hanya kelas bawah,
proletariat tetapi para pengambil kebijakan mulai frustasi. Dan frustasi yang
membahayakan akal waras kita ini bisa menyebar dan memberikan racun kepada
seluruh alam kosmos ini. Karena itu saya mencoba mencari pembelajaran dari
hal-hal kecil saja. Beberapa itu diantaranya:
13. a. Ada dua hal menarik ketika saya,
selama setahun ini, ketika menunggu di halte bus (bus stop). Pertama, para
calon penumpang ini membaca buku sesekali mengajak orang disampingnya bicara
apa saja terkait hal-hal yang unik di depan matanya. Misalnya ada sepeda yang
dimodifikasi, atau sepatu roda unik, dan sebagainya termasuk berita-berita
miring terkait pemerintahan. Kedua, ada saja selalu, orang-orang/calon
penumpang itu memungut sampah disekitar halte dan membuangnya ke tempat sampah
terdekat. Mereka mengambilnya dengan penuh antusias selayaknya kita sedang
diawasi atasan atau sedang berbuat sesuatu yang mulia. Ya, memang mulia. Dan
mereka malakukan tanpa pamrih, di saat pagi, siang, petang, dan malam yang sepi
dan berangin yang menusuk jantung. Hikmah pertama, Orang Barat atau setengah
Barat tidak terlalu menuhankan alat-alat tekhnologi seperti di negara-negara
baru mengenal tekhnologi dimana kita di Jakarta ketika menunggu halte trans
jakarta saja seolah semua orang sibuk dan sibuk dengan handphone dan blackbarry
dan apa saja kalau tidak mereka akan menutup telingah dengan headset agar tidak
diajak bicara. Di sini, orang menghargai tekhnologi, tetapi tidak menghilangkan
arti 'silaturhmi' dan hubungan manusia. Hikmah kedua adalah Mereka malakukan pekerjaan
ringan, tetapi siapa pun orangnya secara tidak sadar telah dibuat sejuk matanya
akibat sampah-sampah yang diungutinya.
13.b. Terkait cellphone/handphone. Saya
kira saya tidak menyaksikan dosen atau profesor yang paling sibuk dengan HP-nya
lebih dari apa yang terjadi di Indonesia. Bahkan, pengalaman banyak teman,
menguji thesis, skripsi pun dosen kita sempat-sempatnya membuka HP, sms, dan
telphone bahkan mengganti status FB atau komentar di FB. Ini kan luar biasa.
Tetapi anehnya, beberapa dosen juga melarang mahasiswa telpon, tetapi SMS Only
(mau sms susah bahasanya?). Ada juga yang telpon Only (artinya mahasiswa harus
banyak pulsa, mau telpon takut menganggu?). Nafas panjang sebentar. Lalu, saya
melihat disini kita bisa mampir kapan-kapan ke kantor profesor, bisa janjian
(appointment) via email karena tekhnologi website-internet sudah disediakan
kampus jadi untuk apa harus juga pakai HP atau cellphone? ini kan pemborosan.
Lalu kita reflektif, di negeri kita semua kampus punya internet operator, bahkan
setiap jurusan punya speedy sendiri, dosen punya modem masing-masing, juga
mahasiswanya. Artinya kehidupan kampus benar-benar high cost, bisa bayar spp
tetapi gak bisa hidup dengan standar gaya kampus (sebut saja UGM). Kalau
mahal apa akibatnya? Dosen harus cari tambahan penghasilan, mahasiswa gak
sempat baca buku karena harus kerja malam sebagai pekerja paruh waktu, siang
ngantuk. Keterlibatan di pergerakan mahasiswa? NO way!. Waktu sudah habis
diperas oleh gaya hidup dan lingkungan yang tidak sehat.
13.c. Jujur, saya termasuk yang punya
stereotip mengenai gaya hidup orang barat: Gak mau direpotkan urusan keluarga
dan mengurus anak. Awalnya, saya tidak mengira pada awalnya bahwa ada profesor
mengajar kelas methodologi yang serius dengan mengajak dua anak kecil seumuran
3 tahun laki dan perempuan. Ramainya bukan main, tetapi profesor Hoku itu
dengan sabar menenangkan anak-anaknya sambil menerangkan. Seminggu
sebelumnya,ada mahasiswi dari Jepang mengaja anaknya di kelas. Anaknya setengah
bule. Anak itu layaknya anak besar mengikuti kuliah ibunya. Refleksinya. Ada
orang barat juga yang tidak kita perkirakan, mereka sangat menghargai anak, dan
tentu saja ini investasi imajinasi anak akan masa depan pendidikan kelak.
Mengajak anak adalah juga mendidik dan memberitahukan kesibukan orang tua. Anak
senang, orang tua bangga. Waktu di kampung, masjid hanya untuk anak muda dan
orang tua, ada yang hanya untuk orang tua karena anak kecil dilarang dibawah
karena ramai. Ramai itu mengurangi kekhusukan sholat? Saya masih belum bisa
menerima kalau masjid hanya untuk orang 'gede' atau dewasa. Lalu apa imajinasi
masa depan kelak, kalau mereka MATI? Anak-anak tidak tahu masjid, tidak tahu
tauladan?
13.d. Ini hari jumat, awal weekend. Seperti
yang sudah saya tulis dan sempat cibaca guru bahasa Inggris disini. Bahwa orang
Barat mengidap "penyakit" yaitu "Work Hard, Play Harder",
atau "Study hard, play harder". Kerja keras menjadi etos penting,
sementara menikmati waktu luang atau weekend adalah harga tebusan yang
setimpal. Kalau pesta dan dugem ya sampai puas karena ini dianggap juga sebagai
hak untuk menikmati kehidupan dan kemerdekaan. Kalau saya, sering merasa plain.
Selama 5 hari dari senin-jumat, biasa-biasa saja, dan kalau weekend juga biasa
saja. Nothing special. Tetapi, jika kita geser sedikit akan etos perayaan
kemenangan kecil dengan hal yang kita anggap positif (tidak melanggar moral dan
menyerempet haram) misalnya, kita nongkrong bersama teman seraya makan dan
diskusi gosip kesana-kemari pasti juga akan menambah semangat hidup kita.
Semangat berbagi, caring and sharing. Ini sudah saya lakukan, terutama dengan
tujuan, agar bisa menjaga akal tetap waras. Selain, itu menyambung nyawa karena
katanya kumpul-kumpul bisa memperpanjang usia. Dalam kehidupan keluarga, anggota
keluarga kita punya hak untuk tersenyum, senang, menikmati kebersamaan, dan
kehidupan indah. Inilah keseimbangan yang bisa kita ciptakan tanpa silau dengan
tradisi orang lain yang bisa mengancam eksistensi ideologi, keyakinan, dan
pranata sosial yang ada dan kita harga. Do You?
14. Kembali ke masa lalu, kira-kira 10
tahun silam. Seringkali pembangunan di kampung merupakan hasil kerja gotong
royong masyarakat tanpa memandang status sosial, ekonomi, dan pemerintahan.
Mereka nampak bekerja ikhlas walau dengan suasana bathin yang berbeda dimana
sebenarnya kelas miskin paling berat menanggung beban gotong royong karena
mereka kehilangan penghasilan atau kesempatan bekerja untuk dirinya sementara
kelas menengah kampung dan pejabat sudah cukup dengan penghasilan dan tidak
kehilangan apa pun dalam jangka pendek. Suatu saat, di RT saya diadakan rencana
pembangunan jembatan dna jalan akibat kerusakan yang maha hebat. Lalu
diputuskan setiap rumah membayar 150 ribu. Semua dipukul rata karena ini
dianggap bentuk keadilan (keadilan purba). Suasana bathin saya meletup waktu
itu, banyak sekali yang keluarga mendapatkan uang 10 ribu saja susah dan
sementara orang kelas menengah atas yang punya mobil 3, motor 2, dan sebagainya
yang melayani banyak pelanggan dan kulaan, yang mendatangkan bahan bangunan
untuk membangun rumah, ini yang saya anggap berkontribusi merusak jalan dan
jembatan. Tetapi atas nama keadilan semua harus berkonstribusi sama. Ini tidak
masuk akal dan ornag kaya yang tidak sadar posisi. Lagi, lagi karena masyarakat
ini beragama islam lalu toleran dan menghargai tidak ada protest yang manifest.
Tapi gossip itu tidak dapat dibendung arena keadilan model ini menyaikiti dan
betentangan dengan nurani semua anak manusia.
15. Contoh yang sama sebenarnya, ketika kita
berorganisasi, menyelenggarakan kegiatan sukarela yang berkolaborasi dengan
ornag banyak, berbeda kelas secara ekonomi. Mahasiswa miskin dengan pengusaha
bekerjasama/bersama dan dua-dua tanpa insentif maka siapa paling sengsara?
kelompok pebisnis atau yang pandai memanfaatkan peluang justru akan mendaatkan
keuntungan yang tidak terduga di masa dekat atau jangka panjang. Contohnya, si
mahasiswa miskin butuh rokok, butuh minum, dan kendaraan kalau sakit maka si
pengusaha kaya itulah yang akan berjasa dan akan mendapatkan keuntungan yang
lebih dari koloborasi masyarakat ini. Ini simbiosis mutualisme tetapi timpang.
Ke depan keadilan progresif dimana proporsional dan appropriate itu perlu
ditegakkan dengan nalar rasional yang lebih memperhitungan dampak, akibat,
resiko jangka pendek dan panjang. Bekerja sama, minimal tidak ada yang
dirugikan, minimal ada keuntungan yang setara sehingga masyarakat yang
berkesenjangan dapat diatasi melalui hal-hal kecil seperti contoh tadi.
HI, Sept 22, 2011
No comments:
Post a Comment