Thursday, March 8, 2012

Pagar, Jembatan dan Pengkhianatan Terhadap Agenda Reformasi


David Efendi

"Pagar harus dibangun untuk kesejahetraan rakyat dan diruntuhkan atas nama kebaikan rakyat."

Tulisan ini adalah bagian dari kegelisahan setiap hari tidak hanya sebagai ekspresi refleksi akhir tahun. Terlalu sayang jika refleksi keberadaan negeri ini hanya dituliskan dalam sajak-sajak dan kata-kata satir di akhir tahun. Menulis, sebagaimana kata Pram, adalah tugas nasional. Seharusnya, ungkapan rasa murung dan empati kepada negeri ini dilakukan oleh semua orang setiap saat sebagai bagian dari everyday life, atau sebagai everyday politik dimana keterlibatan kita diharapkan untuk membantu negara mengurai masalah, menjadi jembatan antar gap (Boytee), baik secara terorganisasi atau yang disebut Ben Kirvleit, sebagai everyday politik--kontribusi atau pengaruh atas kebijkan yang diakkukan secara individual, tidak langsung, dan tidak terorganisir.

Judul tersebut diatas adalah merefleksikan bagaimana bangsa ini dibangun, seberapa jauh akan pergi dan bagaimana kita mengukur sejauh aman kemajuan dari penggalan sejarah ke sejarah berikutnya--sejarah masa depan. Setelah itu, kita coba mengukur seberapa waras kita memperlakukan agenda reformasi sepuluh tahun lalu. Pertama, pagar pembatas mana yang bisa dilakukan dan manayang tidak boleh adalah perlu. Berpihak pada rakyat adalah harus, kebijakan yang membuat penderitaan rakyat berkepanjangan harus dicegah dan diharamkan. Sayang sekali, justru apa yang terjadi adalah pemerintah, walau di era desentralisasi, berlomba membangun tembok berlin, pagar pembatas dengan rakyatnya sendiri. Kita tahu, bagaimana pagar tembok gedung  DPRI/D, Guedung Bupati dan gubernur juga presiden ditinggikan yang secara tidak langsung memisahkan rakyat dengan pemerintahan. Suasana yang berbeda terjadi di negara bagian Hawaii. Gedung gubernur terbuka untuk umum, tidak ada satpam di pagar, gedung "DPRD"nya tidak dipagari dan semua bisa akses ke gedung tersebut. Di sini, tidak ada alasan 'demi keindahan tata kota' semua dikontrol, gelandangan dijauhkan dari gedung publik. Konsep public sphere Habermass lumayan dapat diaplikasikan ketimbang kemunafikan di negeri kita sendiri. Saya tidak berolok-olok tetapi inilah fakta yang aku coba ceritakan. Pagar harus dibangun untuk kesejahetraan rakyat dan diruntuhkan atas nama kebaikan rakyat.

Jembatan
Seperti makna harfiah, jembatan merupakan penghubung lintas teritori, daerah dan waktu. Dalam sejarah Indonesia kita setidaknya punya dua momentum yang diimajinasikan sebagai jembatan emas menuju masa yang lebih baik dan lebih sejahtera baik secara jasmani dan rohani. Jembatan pertama dalam adalah revolusi tahun 1945-an, di mana gerakan nasionalisme digunakan untuk mengusir penjajahan dan menolak eksploitasi oleh bangsa asing/Belanda dan Jepang. Hal ini ditegaskan dalam konstitusi bahwa masa itu adalah jembatan menuju pintu gerbang kemerdekaan abadi dan keadilan sosial. Pada masa itu, semua orang benar-benar merasa membutuhkan jembatan itu dan untuk mendapatkannya harus dilalaui dengan jalan perang dan damai, darah dana air mata. Nasionalisme kita telah meyakinkan bahwa bangsa Indonesia adalah bukan bangsa hasil hibah atau hadiah bangsa lain tetapi sebagai manifestasi dari perjuangan orang-orang berkarakter unggul dan tangguh. 

Jembatan kedua adalah fenomena yang menarik yaitu gerakan reformasi 1998. Dipicu oleh krisis ekonomi lalu merambah ke dimensi politik dan hukum, rezim Suharto berhasil diruntuhkan oleh kekuatan aksi massa. Reformasi yang terjadi di zaman gelombang demokrasi ketiga (terlambat) diimajinasikan sbagai jembatan baru setelah 32 tahun terjerembab dalam pembangunan palsu yang sentralistik (Jakarta dan Java sentrik). Imajanisasi itu dikubur hanya beberapa tahun setelah reformasi terjadi. Kelompok reformasi kalah dalam berbagai mekanisme demokrasi dan konsolidasi elite lama pun terjadi yang dibaca sebagai fenomena undemocrtatic consolidation (Choi 2010; Hadiz 2010). Bentuk bentuk pengkhianatan selama 1 dekade terakhir sangatlah jelas. 

Agenda reformasi menyebutkan secara jelas agenda pemberantasan korupsi dan penegakan keadilan. Fenomena yang terjadi sebaliknya yaitu koruptor meguat dan negaa menajdi kaki tangan koruptor yang melegalkan segala kejahatan atas nama negara.

No comments:

Post a Comment