Thursday, March 8, 2012

Membangun Indonesia yang Rileks


David Efendi

Kata Emha Ainun Najib (Cak Nun), rasa Humor itu adalah antidote dari serangan santet. Jika mau kebal santet anda harus menumbuhkan selera humor--kalau tidak mau mati muda. Santet itu di zaman modern adalah termasuk santet yang diakibatkan oleh politik pemerintahan neo-liberal yang mengancam kelangsungan hidup budaya lokal dan kedaulatan pangan masyarakat kelas bawah. Maka dari itu, pemerintahan yang baik sekarang adalah sistem pemerintahan yang mampu menyuburkan budaya humor dan dagelan. Itu pun kalau anda percaya kalau tidak? Hati-hati mati secara mendadak!

Semenjak dulu, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah tamahnya paling kesohor di dunia sampai-sampai penjajah belanda dan Jepang betah tinggal di Nusantara lantaran banyak dagelan, banyak guyonan yang disimbulkan oleh berbagai ketoprak. Rasa dagel (rilexs) itu bukan hanya dimiliki oleh orang-orang merdeka saja tetapi budak, kelompok tertindas di bawah pahitnya kolonialisme masih bisa bertahan untuk tertawa---paling tidak mentertawakan diri sendiri. Kenapa 'tradisi' agung itu begitu cepat sirna di nusantara ini. Padahal hari ini, sejak 21 Mei 1998 kita merdeka dari kejahatan berhala kekuasaan?. Kenapa di zaman yang serba bebas berekspresi justru rasa humor dan rasa ndagel itu tenggelam. Sosok drakula macam apakah yang memangsa rasa humor yang merupakan basis pertahanan terakhir bangsa ini? Tentu drakula itu lebih kejam dari kejahatan penguasa kolonial Belanda atau Jepang. 

Setidaknya ada tiga hal yang membuat bangsa (rakyat) ini kehilangan rasa humor dan kehidupan yang santai penuh damai. Karena tiga hal inilah bangsa ini kehancurannya nyaris sempurna. Tiga bencana ini antara lain. Pertama, keanekaragaman yang mengancam. Kedua, penguasa yang dzalim. Dan terakhir adalah hilangnya pemimpin yang bisa diteladani. Ketiga Hal itu kita coba uraikan secara singkat.

Keanekaragaman Sebagai Ancaman
Sukarno, begitu juga para Founding Fathers republik ini, pun menyadari betapa keragaman budaya, ethnik, agama, dan karakter manusia Indonesia ini menjadi ancaman laten--sewaktu-waktu bisa menjadi tragedi besar jika negara (sebagai lembaga yang paling legitimet untuk menggunakan kekerasan demi mewujudkan ketertiban yang manusiawi) salah urus dan salah kelola kekayaan bangsa ini. Sejak awal nasionalisme adalah senjata ampuh untuk menekan kemungkinan kebangkitan ethnik, daerah tertentu yang dapat menyulut pertumpahan darah. Kekhawatiran itu justru menganga lebar setalah merdeka lantaran setiap daerah ingin mendapatkan kedaulatan dan kebebasannya. Kekhawatiran itu makin kuat dan makin berbahaya sejak tumbangnya Orde Suharto bahkan sampai hari ini. Keragaman itu masih mengancam, walau bunyi pelajaran PMP dan PPKN mengatakan,"Keragaman adalah kekayaan bangsa yang harus dilestarikans sebagai ciri khas bangsa dan kita sudah berikrar bersama bhineka tunggal ika."

Keragaman keyakinan dan agama juga menjadi kutukan besar lima tahun terakhir ini akibat pihak-pihak tertentu saling memproduksi dan mereproduksi makna kebenaran dan otoritas sehingga kekuasaan negara makin rinkih, otoritas negara begitu muda diteror oleh sekelompok "preman berjubah" sehingga label bahwa Indonesia negara lemah (weak state) layak disematkan di pundak pemerintah. Kita bisa saksikan betapa orang dengan mudahnya mengobrak-abrik hak dan kehidupan orang lain bahkan dengan semena-mena membakar dan membunuh nyawa-nyawa yang belum tentu berdosa apalagi merugikan republik ini. Segelintir orang yang bersembunyi dibalik agama ini begitu rakus memberangus kebahagiaan dan rasa humor anak bangsa. Kalau ada orang berpidato menggebu-nggebu mengeluarkan resolusi jihad melawan ahmadiyah dan aliran sesat tetapi mandul dan tidak respon terhadap kemiskinan, pengangguran, korupsi dan nepotisme maka orang Jogja akan dengan muda; "Piring pecah." Artinya"preg" sebagai expresi bahwa pidato itu hanyalah omong kosong.

Penguasa Yang "Dzalim"
Term Dzalim setara dengan pemerintahan yang korup, tidak adil, dan sewenang-wenang baik dilakukan secara terang-terangan (hard dictatorship/hard corruptorship) atau dengan cara sembunyi-sembunyi (soft dictatorship) dengan berlindung dibalik jubah konstitusi dan khayalan peraturan pemerintah. Tipe pemerintah ini biasanya ditumbuhi oleh berbagai virus yang berbahaya seperti KKN, kelompok konglomerat hitam, dan setan neo-liberalisme. Inilah yang menjadi predator negara, menjadi pemangsa rasa humor anak bangsa karena dampak kerusakannya memang tidak hanya dialami oleh orang sekarang yang masih hidup tetapi anak-anak cucu mereka pun kehilangan masa depan. Inilah yang membunuh rasa humor akhir-akhir ini. Orang bisa saja mempertahankan rasa humor dalam masyarakat, tetapi jumlahnya makin hari makin minoritas di tengah peliknya persoalan ekonomi. Bahkan, kebutuhan ekonomi yang paling mendesak (makan 2 kali sehari) saja sudah sulit apalagi ketawa lima hari sekali. Bisa bertahan adalah prestasi, tidak mampu ketawa lagi adalah mimpi buruk bagi negeri ini.

Hilangnya Keteladanan
Kalau bangsa ini betul-betul memberlakukan ajaran luhur budaya bangsa tentu bangsa ini tidak separah hari ini. Orang banyak menyebut kegagalan Orde Baru dan Sukarno akibat gaya kepemimpinan Java Centris yang memberlakukan pemusatan kekuasaan pada sosok personal. Namun kita patut curiga bahwa Suharto bukanlah orang yang sempurna dan proporsionalitas menggunakan legitimasi budaya Jawa sebab dia menggunakan hanya yang terkait kebutuhan mempertahankan kekuasaan dan bukan untuk menggunakan kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Kalau ajaran jawa, mungkin juga ajaran suku-suku lainnya, akan mengedepankan bagaaimana sosok pemimpin harus selalu berani berdiri di depan, di belakng mampu memberikan motivasi dan dorongan agar bangsa ini maju tanpa kehilangan pamor (Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani). Inilah ajaran utama Ki Hajar Dewantoro. Jadi, budaya Jawa bukanlah budaya yang dapat mengancam entitas budaya lain. Itu tidak benar.

Tetapi kenapa pemimpin pemerintahan tidak bisa menjadi tauladan walau SBY dan Budiono adalah orang jawa. Apakah mereka sudah kehilangan kejawaan (wong jowo lali jowone). Begitu juga sosok tokoh masyarakat, rasa humor dan inspirasi mereka sudah terkubur, seiring berbondong-bondongnya kaum guru bangsa ini merangsek ke pintu gerbang dan istana kekuasaan. Rakyat ditinggal sendiri dan mencari cara untuk mempertahankan rasa humornya sendiri walau tidak gampang. Karena akhir-akhir ini mencari suasana yang rileks saja sulit karena betapa setan neo-liberalisme dan segala pernak-pernaknya memperpendek nafas humornya. Contohnya, melihat tayangan TV yang memperontonkan pidato dan analisis tokoh-tokoh nasional yang makin membuat dahi cepat menua, telingah jadi "hanging" dan mata cepat menjadi rabun. Sedemikian seriusnya bangsa ini dibangun, padahal mereka sedang merusak selera humor. Dang ingat: Dagelan senayan itu bukan membuat kita ketawa sehat, tetapi ketawa yang mengantarkan cepat sekarat!. 

Kapan kita dipimpin oleh Arsitek negara yang humoris? Dulu kita dipimpin oleh Gus Dur yang suka dengan Joke-joke-nya tetapi karena bangsa ini lebih banyak orang seriusnya (di Senayan) banyak yang tidak enjoy dengan humor-humor Gus Dur yang kadang merepotkan komunikasi antar lembaga negara. Sosok Kyai Humor itu dianggap tidak proporsional dan kelewat santai mengurus negara yang sedang butuh recovery. Dia pun dijatuhkan. Ada sosok presiden humor lagi yang ada di dunia ketoprak. SBY sang presiden republik Dagelan. Sayang rasa humor Si Butet Yogya hanya dinikmati sebagian kecil rakyat sebab kapasitasnya hanya sebagai presiden di dunia dagelan. Tapi paling tidak presiden ini menjadi alternatif ketimbang melihat sosok serius SBY yang aslinya. Kita tetap kangen presiden yang bisa melucu, wong asal-asal usul negara Indonesia ini dipenuhi oleh orang-orang lucu tapi cerdas beranalogi.

Keperluan membangun Indonesia dengan rilek itu adalah agar koruptor kalau korupsi itu tidak semena-mena dan terlalu serius sehingga melupakan ada rakyat miskin di kampung-kampung dan pinggiran kota-kota besar. Rasa humor mutlak diperlukan agar para kelompok "milisi sipil" yang tidak suka pada kelompok yang diangap aliran sesat agar sebatas kewajaran dan santai saja tidak perlu membakar dan merusak apalagi membunuh. Itu juga bukan solusi tapi negara juga harus tegas kalau sudah darurat jangan malah "mbelgedes" colong playu (tidak tanggung jawab). Selara humor perlu agar pejabat tidak cepat kehilangan ingatan tentang kalkulasi pembangunan dan dampaknya bagi masyarakat yang suka humor. Kalau pejabat imsomnia mengakibatkan uang negara ketukar masuk rekeningnya, uang pembangunan jadi uang konsesi jadi pejabat dan seterusnya. Selera humor membantu orang awet muda, dengan awet muda tentu negara ini dibangun oleh orang-orang yang semangat muda dan tidak tergila-gila lantaran dikejar deadline dari tukang penggali kubur. Aneh, membangun negara terlalu serius tetapi hasilnya bikin payah orang banyak. BBM dinaikkan ya jelas salah wong BBM itu Bahan Bakar Mabok kalau dinaikkan ya pejabatnya makin mabok dan hilang ingatan seperti pendekar silat pakai jurus dewa mabok! 

Negara ini jelas, tidak bisa dibangun dengan dahi berkerut. Kita lihat presiden dahinya berkerut tua sementara menteri-menteri kita lihat ceria karena memang hidup di ladang basah dan berminyak. Kalau tidak ceria pasti sulit shooting membuat iklan di media dan dijamin gak bakalan terpilih menjadi menteri. Walau demikian kita jarang melihat menteri yang suka homor, yang banyak membual. Ada sosok yang agak suka ndagel ada di MK dan KPK. Pak Mahfudz dan Pak Busro, adalah dua diantara anak bangsa yang memelihara rasa humor. Mungkin mereka harapan kita. Ini bukan iklan wong kenyataanya begitu. Kalau anda suka ya terserah tidak ya saya tak ketawa sendiri wong ketawa tidak kena pajak. "Gitu aja kok repot." 

Terakhir, kita perlu coba, membuka rapat kabinet dengan sedikit dagelan! begitu juga rapat di senayan sedikit dagelan yang ilmiah bukanya malah sibuk berwacana kondom, WC, dan video "ra-nggenah." Kalau itu dianggap hiburan bagi rakyat, itu PITNAH. Ketawa yang sejati adalah ketawa yang muncul menyegarkan dan mampu menghilangan kerutan dahi. Sampai sekarang pabrik itu masih terbatas jumlahnya kita perlu tambah lagi. Mari ketawa sebelum ketawa itu menjadi bencana!


NB: Para pembaca yang lucu, sebenarnya ingin saya menuliskan dengan penuh humor tetapi masih kelewat serius. Memang tidak bakat dagel tetapi aku suka mengetawakan diri sendiri melalui gojekan pelawak-pelawak dan pendagel di panggung atau di angkringan. Semoga ketularan jadi tukang ndagel dari pada jadi politisi serius yang tidak tahan santet. Mohon masukan pembaca bagaimana cara menulis yang membebaskan pembaca dari penyakit keseriusan dan dahi berkerut.

No comments:

Post a Comment