David Efendi
Orang sebelum berteori dan membaca teori kekuasaan sudah mempraktekkan kekuasaan. Jauh sebelum Thomas Hobbes, Aristoteles, Jhon Locke berfikir tentang teori kekuasaan Nabi Adam dan Iblis sudah saling berebut kekuasaan dalam pengertian saling bertahan dan saling meruntuhkan kekuasaannya. Hal ini kemudian di praktikkan oleh Anak-anaknya untuk perebutan kekuasaan antara Habil dan Qobil dalam cerita-cerita anak-anak tempo dulu.
Kekuasaan itu didefinisikan secara berbeda-beda. Ada yang beranggapan bahwa kekuasaan itu jumlahnya sama (zero sum game), kongkrit, dan tidak terbagi (Ben Anderson dalam idea of Power in Javanese), sementara di Barat kekuasaan itu terdistribusi dan abstract. Basis legitimasi kekuasaan pun beragam ada yang karena keturunan, ada yang karena kecakapan, dan ada yang karena sistem konstitusi yang menempatkan menjadi pengendali kekuasaan. Kekuasaan itu bagi saya, terutama di zaman modern, berada di luar diri penguasa sehingga lebih rentan untuk dipindahkan atau dialihkan. Sementara dalam cerita-cerita Asia konon kekuasaan itu ada pada diri seorang penguasa berupa kesaktian-kesaktian yang dipelajari dan ditempa secara intensif. Karena itu, untuk mengalihkannya harus ada pertumpahan darah. Paling tidak kita paham, bahwa kekuasaan itu sering hanya melekat sebagai simbul kepada penguasa, tetapi abtract secara subtansi karena pada dasarnya kekuasaan, tenaga, kesempatan untuk melakukan kegoncangan sistem dan stabilitas itu bisa dilakukan siapa saja. Jadi, kekuasaan itu milik sitiap orang.
Lalu, bagaimana kekuasaan itu dimonopoli seseorang atau sekelompok orang. Sebetulnya kekuasaan itu bersifat dan bermuka banyak. Salah satu ketagori yang gampang dibedakan adalah bahwa kekuasaan itu bersifat memaksa dan yang lainnya bersifat hegemonik (jika dipraktikkan oleh sebuah rezim) namun pada umumnya kekuasaan yang tersebar di banyak orang itu bisa bersifat kekerasan dan bersifat lunak, manifest dan laten. Seorang Raja atau penguasa kekuasaannya sebenarnya sangat rentan. Orang-orang dekat, pelayan dan tukang masaknya justru bisa mengancam rajanya kapan saja dia inginkan dengan mencampur racun atau menikam dari belakang. Jadi, kekuasaan bukan milik penguasa saja. Karena sifat lemahnya kekuasaan inilah Raja Jawa dulu harus punya kesaktian, kalau Presiden dan perdana menteri sekarang harus punya mata-mata, sensor, dan berbagai alat tekhnologi modern.
Tetapi, walau demikian, penguasa mutlak dan absolut adalah penguasa yang paling besar kelemahannya. Semakin banyak orang yang dirugikan semakin besar peluang untuk hancur lebih awal ketimbang perkiraan. Contoh-contoh hancurnya kekuasaan absolut secara mendadak dapat ditemui di Perancis pada Zaman Louis XIV ( 5 tahun berkuasa) atau Amangkurat 1, dan 2 (hanya 2 tahun berkuasa). Kekuasaan absolut artinya memonopoli kebenaran dan memproduksi sesuai dengan nafsunya saja sehingga daulat raja, perkataan raja menjadi hukum tertinggi. Orang Jawa bilang "idu geni." Karena semua perkataanya jika tidak dilaksanakan akan menjadi prahara bagi orang-orang dekatnya, hamba, dan "rakyatnya." Sentralisasi kekuasaan jelas melawan hukum alam dan kita lihat bagaimana mereka dihancurkan.
Jadi, kekuasaan yang hanya menimbulkan banyak perlawanan dan musuh akan mudah dipatahkan sebab para musuh itu punya jenis kekuasaan lain yang bisa menjadi antidote dari absolutisme raja/penguasa yang kejam. Bahkan tidak hanya manusia, banyak benda-benda yang mempunyai kekuasaan walau sifatnya pasif seperti buah, bungah yang beracun, tembok-tembok yang mengancam dan berbagai jenis kekuasaan pasif di bumi ini. Contohnya, orang tersandung batu bisa mati, ornag kemasukan benda kecil di mata menjadi buta. Inilah bukti, bahwa kekuasaan itu secara alamiah tidak bisa dimonopoli.
Kekuasaan pasti bukan hanya milik raja dan penguasa. Orang-orang biasa baik secara sendiri-sendiri atau berkelompok punya kekuasaan. Sebagaimana kata James Scott, siapa pun punya kekuasaan untuk melawan walau dalam keadaan yang sangat lemah. Perlawanan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang itu tidak hanya secara fisik tetapi dengan simbol perlawanan yang sangat kentara bagi yang tahu (sesama kelas) atau bisa sangat mematikan jika dilakukan orang banyak secara masif walau tidak terorganisir (Kerkvliet dalam the Power of everyday politic). Itulah senjata orang tertindas (weapon of the weeks), dan di masyarakat agamis doa itu adalah senjata yang tidak bisa dianggap enteng.
Kalau kekuasaan itu tidak bisa dimonopoli, kenapa beberapa penguasa bisa bertahan sangat lama? Saya mempunyai pendapat berbeda kenapa Suharto, lew Kuan Yee, Khadafi, Mubarak, dan lain-lain dapat bertahan lama karena sejatinya mereka menyadari adanya kekuasaan itu terdistribusi secara proporsional dan saling membutuhkan, saling melengkapi satu sama lainnya. Suharto membagi kekuasaanya kepada ABRI dan GOLKAR yang satu mengurus kekuatan memaksa yang satu menghegemoni. Orang taunya Suharto itu otoriter, kejam dan mempunyai kekuasaan yang sentralistis dalam dirinya. Itu kalau kekuasaan dilihat dari kacamata kuda. Seperti Suharto, Mubarak di Mesir, Khadafi di Libya juga penguasa di timur tengah kuat karena mereka saling membangun pemahaman kekuasaan itu milik banyak aktor. Karena itu, biasanya kehancuran sebuah rezim itu bukan semata-mata karena perlawanan rakyat dari luar tetapi lebih cepat tumbang akibat perpecahan antar pemegang kekuasaan dari lingkaran inti. Konon pada saat Suharto akan jatuh sudah terlihat jelas perpecahan di tubuh ABRI, begitu juga kasus di Mesir, Libya dan ini tidak terjadi Singapura atau Malaysia.
Kasus Singapure dan Malaysia kekuasaan penguasa dibagi tidak hanya pada militer tetapi pada kekuasaan adat/raja di negara-negara bagian Malaysia, dan kepada para pengusaha di Singapura. Kedua model negara ini cenderung membangun stabilitas lebih lama karena unsur perpecahan itu tidak bisa spontan terjadi. Di daerah-daerah Malaysia, daulat tuanku raja masih didengarkan oleh orang melayu/bumi putera, di Singapura orang cenderung lebih memikirkan ekonomi dan masa depan ketimbang urusan politik dan demokrasi sehingga memicu masyarakat bekerja keras dan tergantung pada ekonomi makro di tangan pengusaha.
Penjelasan ini juga bisa digunakan untuk melihat Yogyakarta. Walau upaya penghapusan 'sentralisasi' kekuasaan Sri Sultan HB X yang merangkap sebagai pemimpin kultural (raja) dan politik (gubernur) sampai hari ini belum berhasil karena kekuasaan dilihat dari luar yang seolah sentralistis padahal tidak demikian. Peta kekuasaan di Jogja beragam orangnya, ada pada kelompok pecinta dan pengembang kebudayaan (seniman, dalang, dan sebagainya), ada pada pengusaha, ada pada pemilik koran lokal, dan ada juga pada sektor-sektor di pedesaan, ada hierarki yang dijaga dan dilestarikan. Jika kekuasaan-kekuasaan yang nyata ini saling bergantung dan saling menjaga, bagaimana mungkin orang diluar bisa menghancurkannya. Musti muncul perlawanan, musti ada pemberontakan jika sesuatu yang mapan dan tidak ada exploitasi dipaksa berubah.
Karena kekuasaan itu milik banyak orang, kita pun bisa menjaga kekuasaan dalam keseimbangan secara proporsional. Ancaman terhadap kekuasaan kita mungkin saja terjadi. Keinginan untuk memperbesar kekuasaan itu biasa terjadi, toh kita tidak kehilangan cara untuk mempertahankan kekuasaan kita bagaimana pun caranya. Seorang teman saya bercerita, bagaimana cara melawan kekuasaan yang kejam. Hanya dengan meludah ke kiri setiap bangun tidur seolah meludahi penguasa tersebut. ITU.
No comments:
Post a Comment